Senin, 10 Mei 2010

LOST in JOGJA (cerpen)


LOST IN JOGJA
Pukul 04.50 WIB Tira terbangun dari tidurnya setelah kurang lebih tiga jam ia tertidur lelap. Masih dalam keadaan setengah sadar dan masih menahan rasa kantuknya, ia melihat jam ditangan kirinya, kemudian menikmati kembali pemandangan di perjalanannya yang pertama ini.

Tira sedang dalam perjalanan menuju Solo dengan kereta api, ia hendak menyusul keempat sahabatnya yang sudah terlebih dahulu menuju kota itu. Namun setelah ia teringat pesan keempat sahabatnya bahwa ia akan sampai di stasiun pukul 04.30 WIB, sementara detik itu menunjukkan pukul 04.50 WIB, ia hanya bisa menelan ludah karena menyadari bahwa stasiun tujuannya sudah terlewati. Ia terlihat gugup sehingga seorang pria yang duduk di kursi sebelahnyapun memberanikan diri menyapanya.

“Maaf Mbak, ada masalah? Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pria sekitar umur 25 tahunan dengan logat jawanya.

“Saya?” jawabnya pelan sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Ia Mbaknya, kelihatannya bingung begitu..” jawabnya menebak-nebak. “Mbaknya mau kemana?” lanjutnya lagi.

“Di depan nanti stasiun apa ya, Mas?” tanyanya sembari menenangkan dirinya.

“Kurang lebih lima menit lagi, itu stasiun Jogja, Mbak” jawabnya pasti. “Mau ke Jogja juga ya, Mbak?” sambungnya.

“Mmmh.. iya..” ucapnya singkat.

Tira menarik nafas panjang, kemudian ia berpikir sejenak sembari menyandar kembali pada kursinya.

“Gimana ceritanya gue jadi nyasar di Jogja gini?!” tanyanya dalam hati. “Kalo udah nyampe stasiun nanti, apa yang mau gue lakuin coba? Ngga ada yang jemput, ngga ada tujuan. Arrghh gara-gara ketiduran nih!!” keluhnya lagi.

“Ra, kita semua udah nungguin loe dari setengah jam yang lalu, sementara kereta api yang loe tumpangin udah jalan lagi dari tadi. Tapi kita belum juga nemuin loe, loe dimana sih ?!” tanya Icha yang sudah menunggu di stasiun Solo untuk menjemput sahabatnya. “Di toilet karena loe nahan2 pipis, di tempat makan karena loe kelaperan, atau di tempat souvenir karena loe ngga tahan belanja?? Tapi kabarin kita dong say…” lanjutnya khawatir dengan keadaan Tira.

“Lima menit lagi loe telfon gue ya..” jawab Tira dengan singkatnya. Ia lalu menyimpan handphone dalam tas tangannya dan kemudian mengambil kopor merahnya untuk turun bersama penumpang lainnya di stasiun Jogjakarta. Sesaat Tira kebingungan, lalu ia duduk di dekat toko kue, seraya berpikir apa yang harus ia lakukan setelah sampai di kota yang sebenarnya bukan tujuan liburannya ini.

“Ra, kita kok ada feeling kalo loe punya kabar buruk sih?” tanya Icha saat menelepon Tira kembali.

“Loe jangan banyak omong deh, please tenangin gue! Gue nyasar tau ngga?!” jawabnya sembari kesal.

“Nyasar?!” jawab keempat sahabatnya kompak ketika mengetahui jawaban Tira dari speaker handphone milik Icha. “Dimana loe sekarang?” lanjut Icha ikut panik.

“Jogjakarta, masih di stasiun” singkatnya.

“Oke loe tenang dulu.. Sekarang loe mendingan cepet-cepet cari taksi, cari hotel, terus loe istirahat biar loe tenang dikit. Nanti siang gue telfon loe lagi ya” saran Icha menenangkan Tira. “Baik-baik loe disana” pesannya.

Kemudian Tira berjalan menuju pintu keluar stasiun Jogjakarta, yang kemudian disambut oleh riuhnya tukang becak dan taksi yang menawar-nawarkankan jasanya. Ia kebingungan dan menolak semua tawaran tukang becak dan taksi, kemudian ia berjalan sampai depan gerbang stasiun. Ia melihat di depan mata toko-toko yang masih tertutup rapat yang selama ini hanya ia lihat di televisi, majalah, ataupun internet. Ia kagum dan sudah terbayang akan berbelanja di tempat yang terkenal dengan nama Malioboro ini. Ya, ia masih terus berjalan menikmati udara subuh di kota ini. Namun lama kelamaan ia lelah juga berjalan kaki, ia lalu menghampiri becak-becak yang terparkir di depan toko-toko batik.

“Ayo Mbak becaknya, cari hotel bintang lima atau bintang tiga, lima ribu saja” tawar tukang becak yang terlihat renta tetapi semangat kerjanya terlihat tinggi.

“Mbaknya masuk becak duluan, biar kopornya saya yang angkut belakangan” lanjutnya.
Tira lalu duduk dan menikmati indahnya pengalaman ini, ia seakan lupa bahwa ia sebenarnya tidak punya tujuan disini.

“Mau di hotel apa, Mbak ? Sebelah kiri ini hotel Bintang tiga. Nanti kalau yang ini ngga cocok, masih ada di depan hotel bintang limanya” jelas bapak tukang becak.

“Saya ngga cari tempat yang mewah kok, Pak. Antar saya ke hotel yang biasa aja deh, Pak” jawab Tira.

“Siap, kalau begitu kita putar balik ya, Mbak..” lanjutnya sembari terus menggenjot becaknya.

“Terserah Bapak, tapi saya juga mau yang dekat Malioboro aja..” lanjut Tira.
Sembari memilih-memilih tempat penginapan, tiba-tiba Tira teringat seorang teman lamanya yang saat ini stay di kota ini, lebih tepat disebut cinta monyetnya.

“Babon!” ucap Tira sembari kegirangan. “Ya bener, gue harus hubungin dia sekarang juga” lanjutnya sembari mencari nama lelaki itu di daftar nomor telepon pada ponselnya dan kemudian menghubungi nomor itu. “Heuhh ga aktif!” ujarnya sedikit kesal. ”Apa dia ganti nomer? Tapi ga mungkin, dia pasti ngasih kabar kalo ganti nomer gitu. Belum bangun kali ya?” lanjutnya berusaha berpikir positif.

Akhirnya Tira menemukan tempat yang cocok suasananya dan juga cocok harganya. Lalu ia membayar becak dengan sedikit tambahan karena ia merasa iba dengan bapak tukang becaknya. Ia lalu masuk ke dalam hotel pilihannya dan membayar biaya penginapan untuk satu hari. Kemudian petugas hotel mengantar Tira ke kamar pilihannya. Tira lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang untuk beristirahat sesaat. Tidak lama kemudian, Tira membuka gorden cokelat di sebelah ranjangnya. Ia tergiur pengunjung hotel yang sedang berenang di pagi hari ini.

“Seger juga kayaknya ya, ikutan ahh..” ucapnya seraya membuka kopor lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian untuk renang. Namun sebelum beranjak dari kamarnya, sekali lagi ia menghubungi teman lamanya itu. “Hufft belum bangun juga ‘ni anak!” ucapnya kesal ketika temannya itu masih juga belum bisa dihubungi. “Hai Bab, Tira lagi di Jogja nih.. Bisa kesini kan, hotel Blue Safir, modern room 28? See you, Bab!” pesannya di mailbox sembari berharap temannya itu segera menghubunginya kembali. Tidak lupa, Tira menghubungi sahabat-sahabatnya yang berada di Solo. “Loe semua tenang aja, gue aman kok. Gue udah dapet hotelnya juga. Tapi please banget, kalo laki gue ngehubungin kalian, bilangnya gue ada sama loe semua yaa..” pintanya pada keempat sahabatnya itu.

Tanpa berlama-lama Tira langsung masuk ke dalam kolam renang, beraksi dengan gaya katak andalannya. Beberapa kali ia beristirahat di pinggir kolam sembari menertawakan pengunjung anak-anak kecil yang terlihat lucu. Jam menunjukkan pukul 08.45 WIB, Tira beraksi kembali dan berencana mengakhiri acara renangnya ini.

“Tira !!” teriak suara seorang lelaki dari atas kolam renang.

“Haii, Bab!” jawab Tira sembari melambaikan tangannya saat melihat sosok teman lamanya. Ia lalu berputar arah ingin segera menghampiri sosok lelaki itu. Namun ada sedikit kecelakaan yang terjadi ketika Tira akan berenang kembali menuju tempat temannya itu, kakinya terkena lantai kolam renang yang agak retak. “Aduhh .. Ya ampun… Bab!!! Tolongin.. Aduhh kaki gue !!!” ucapnya meringis kesakitan.

Dengan refleksnya, lelaki itu membuka sandal dan jaketnya, lalu kemudian masuk ke dalam kolam untuk membantu teman wanitanya yang terlihat kesakitan. Ia membopong Tira sampai ke atas kolam lalu melihat seberapa urgent luka di kaki Tira. Tanpa basa basi ia menggendong Tira menuju kamarnya.

“Jantung gue kok debarnya kenceng banget gini sih?” ucap Tira dalam hati ketika ia sedang berada di pangkuan cowok yang ia panggil Babon ini. “Darah.. darahnya banyak banget. Gimana nih kaki gue..” lanjutnya masih dalam pangkuan temannya itu, sembari meneteskan air mata.

“Ko bisa sampe gini sih, Ra?” ucapnya saat sampai di kamar Tira. ”Ngga hati-hati sih kamu!” lanjut cowok berbadan tinggi besar ini. “Aku tak telfon petugas informasinya dulu ya” sambungnya sembari mengangkat gagang telepon yang berada di sebelah ranjang.

Tira tidak berkata-kata, ia menahan sakit di kakinya sembari terus mencuri pandang pada lelaki yang bernama asli Bian itu. Tak lama petugas hotel datang mengantarkan kotak P3K, dan Bian segera mengobati luka di kaki Tira dengan obat merah dan juga balutan perban.

“Udah enakan?” tanya Bian sembari masih meniupi kaki Tira agar sakit yang dirasakannya sedikit berkurang.

“Thanks ya, Bab. Sorry belum apa-apa Tira udah ngerepotin kamu..” ucapnya lirih.

“Udah ngga usah ditiupin lagi, cukup kok” sambungnya sembari memberikan senyum
manisnya. “Baju celana kamu basah, ganti pake boxer Tira ya..” lanjutnya sembari mengambil celana boxer berukuran L, yang biasa ia pakai untuk tidur. “Bajunya gimana ya, Tira ngga ada baju yang ukuran “Babon” tuh..” lanjutnya lagi sedikit berjokes.

“Babon babon!! Udah deh itu tu panggilan jaman SD tau ngga, sekarang udah ngga berlaku lagi! Yang manggil kayak itu tinggal kamu aja!” jawab Bian juga diiringi senyumnya. “Udah soal baju biar aku pake jaket aja” lanjutnya.
Bianpun menuju kamar mandi untuk mengganti celananya. Sejenak mereka terdiam, tanpa sadar merekapun saling memandang satu sama lain.

“Kamu belum sarapan ya?” ucapnya mencairkan suasana.

“Ia, Tira laper nih, cari sarapan yuk di luar” ajak Tira bersemangat.

“Di luar? Ngga pesen di hotel aja? Kakimu itu lho” ucap Bian mengingatkan Tira bahwa kakinya sedang tidak sehat.

“Oh iya ya, lupa! Terlalu semangat pengen sarapan..” jawabnya sembari berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

“Semangat pengen sarapan apa semangat pengen jalan sama aku?” lanjut Bian dengan PD-nya.

“Ngga lucu ah, Bab!” teriaknya dari dalam kamar mandi. “Udah deh, kamu kan bawa kendaraan, jadi ngga masalah kan mau cari sarapan di luar?!” jawab Tira saat keluar dari kamar mandi sembari mengedipkan sebelah matanya.

Akhirnya mereka berangkat dengan motor matic berwarna hitam milik Bian menuju tempat sarapan pagi di pinggiran jalan Malioboro. Soto ayamlah sarapan pilihan mereka, dengan segera mereka meminta dua mangkuk soto plus teh manis hangat. Sembari sarapan, mereka pun berceritera banyak hal.

“Ngomong-ngomong ke Jogja ada apaan, sendirian begini pula?” tanya Bian sembari menambahkan satu sendok sambal pada mangkuk sotonya.

“Hmm.. Sebenernya Tira mau nyusulin temen-temen. Mereka udah berangkat duluan ke tempat tujuan liburan kita” jawabnya sembari menikmati soto pesanannya.

“Nyusulin gimana, emang tujuan liburan kemana tho?” lanjut Bian.

“Tira tuh ada ujian susulan, jadinya ngga bisa berangkat barengan mereka. Waktu di kereta, Tira ketiduran sampe akhirnya Tira sadar kalo lagi nyasar” cerita Tira panjang lebar diiringi tawa dari Bian. “Kita tuh rencana liburan bareng di Solo. Tapi gara-gara ketiduran itu, akhirnya Tira turun di Jogja deh, dan ngga tau mau ngapain disini!” lanjutnya.

“Mau ngapain? Disini banyak yang bisa kamu lakuin lho. Ngga usah aku kasih tau, juga pasti banyak hal yang bisa kamu lakuin disini” ujar Bian yang kali ini menengguk teh hangat pesanannya.

“Belanja, jalan-jalan, naek becak, naek andong, datengin toko-toko, makan di selehan. Ya banyak sih, Bab. Tapi kalo sendirian?” jawab Tira berharap Bian bersedia menemaninya selama di Jogja. “Mending kalo kamu mau temenin Tira. Sementara kamu juga kan punya kesibukan..” lanjutnya masih berharap.

Setelah berceritera banyak hal, Bian mengantarkan Tira kembali ke hotel, dan iapun langsung pamit untuk pergi ke kampus.

“Beneran ngga akan ikut aku?” tanya Bian ketika sampai di depan hotel. “Cuci mata loh, nanti tak kenalin juga sama cowok-cowok Jogja di kampusku” lanjutnya.

“Ora ah, kakiku ini lho, Bab!” singkat Tira sembari menunjuk kakinya yang terbalut perban.

“Hallahh, sok Jawa! Ya udah istirahat aja dulu, nanti agak siang aku jemput lagi anter kamu keliling. Aku tak berangkat dulu ya” pamit Bian.

Tirapun masuk ke dalam kamarnya, ia menonton tayangan televisi dan jalan-jalan di hotel. Namun lama kelamaan iapun kesal hanya berdiam diri menunggu Bian yang janji menjemputnya untuk mengajaknya keliling Jogja. Ia tak sabar menikmati panasnya kota Jogja. Akhirnya ia memutuskan jalan-jalan ke luar hotel, dan sampai di Malioboro yang memang tak jauh dari hotelnya. Ia berpetualang seorang diri, keluar masuk toko-toko sendirian.

“Kamu dimana? Kok ngga ada di hotel?” tanya Bian ketika menelepon Tira saat sampai di hotel untuk menepati janjinya pagi tadi.

“Okei, bentar lagi Tira balik kesana. Tungguin ya” jawabnya tenang.

“Ya ampuun, kamu jalan sendirian?!” lanjut Bian sedikit khawatir. “Udah, biar aku yang susulin kamu, kamu dimana sekarang?” sambungnya panik.

“Nih Tira lagi jalan menuju kesitu kok, bentar lagi nyampe” sambungnya lagi sembari menutup teleponnya.

“Belanja? Sendirian? Keadaan kakimu kayak begitu? Kalo di jalan ada apa-apa gimana coba? Kamu kok ngga mau nungguin aku sebentar aja, toh aku ngga bakal bohong sama janji aku?!” ucap Bian sedikit kesal saat Tira sampai di hotel dan terlihat membawa beberapa bungkusan belanjaan.

“Bab, kamu ngambek sama Tira?” ucapnya kebingungan melihat sikap Bian berlebihan seperti itu. “Tira cuma bête aja, cuma ngabisin waktu aja buat jalan-jalan ke depan. Tira ngga kemana-mana, malah nungguin kamu dari tadi” lanjutnya.

“Sini aku bantu” singkat Bian sembari mengambil belanjaan dari tangan Tira dan berjalan menuju kamar Tira untuk menyimpan bawaannya. “Kalo mau kemana-mana tuh kabarin aku, aku ngga marah sama sekali, tapi kamu disini sendirian, kalo ada apa-apa gimana?” lanjutnya.

“Sorry, Bab. Abisnya Tira kesel diem di kamar terus, Tira ..”

“Ya udahlah, terus sekarang mau kemana lagi?” lanjut Bian masih dengan raut kesalnya.

“Tira cuma mau.. Kamu kayak tadi pagi lagi, becandaan lagi, jangan ngambek terus dong..” rayu Tira yang akhirnya diiringi senyuman Bian.

“Kamu sih bandel. Ya udah yuk jalan sekarang, apa udah capek?!” lanjutnya sedikit menyindir Tira.

“Engga ada capek tuh, Tira masih kepengen jalan-jalan. Tapi boleh ngga?” tanyanya.

“Apa?!” singkat Bian.

“Tira pengen keliling Jogja, tapi pake andong yaa.. Pleaseee..” pinta Tira.

“Yo wess ayo..” singkat Bian yang langsung berjalan menuju muka hotel untuk mencegat andong yang akan mereka tumpangi bersama. “Ayo naik duluan” kata Bian sembari membantu Tira menaiki andong, lalu ia duduk di hadapan Tira.

“Tira disebelah kamu ya, takut niiih..” bujuknya saat andong yang ditumpangi mereka mulai berjalan.

“Yo wess sini pindah” jawabnya sembari memegang lengan Tira agar tidak terjatuh.

“Gimana sih, katanya mau naek andong, begitu naik malah takut..” lanjutnya.

“Hmmm, berisik deh..” singkatnya sembari terus memegang lengan Bian dengan kencangnya. “Ya ampun, debar jantung gue.. ” ucapnyanya dalam hati. “Kita kemana dulu nih, Bab?” lanjutnya.

“Keliling keraton Jogja deh, disana bisa foto-foto sambil nambah ilmu juga. Abis itu kita ke TamanSari, kamu bisa liat tuh bangunan-bangunan tua tapi masih kokoh berdiri. Ada juga sih yang retak-retak karena gempa kemarin ini” jawab Bian menjelaskan.

“Oooh gitu ya, Pak guru?” singkat Tira berjokes.

Tidak terasa hari sudah cukup sore, merekapun memutuskan mengakhiri perjalanan di Keraton Jogjakarta, dan kembali ke andong untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini Bian mengajak Tira mengunjungi toko kaos yang paling khas dan terkenal di Jogja. Perjalanan merekapun berakhir di tempat makan lesehan di seputaran jalan Malioboro. Tira sangat menikmati malam liburan pertamanya di Jogjakarta bersama Bian, si cinta monyetnya.

***

Pagi ini Tira mendatangi bagian informasi untuk memperpanjang penginapan. Tira masih betah berada di kota ini, dan masih ingin menikmati indahnya kota Jogjakarta, tentunya bersama Bian.

“Hai Cinta, ngurung di hotel aja nih?” tanya Icha, saat menelepon sahabatnya. “Kita lagi di show room batik Solo nih, nyesel deh loe ngga ngikut kita” lanjutnya membuat Tira iri.

“Hmm.. Laki gue nelepon ngga?” ucapnya mengalihkan pembicaraan.

“Engga tuh” singkat Icha. “Trus, kapan loe mau nyusul kita? Emang ngga bête loe disana sendirian?” lanjutnya.

“Siapa bilang gue sendirian? Udah deh gue aman disini. Yang penting gue pesen satu aja, kalo laki gue ngehubungin kalian, jangan sampe lupa bilang kalo gue ada sama loe semua. Ok! Have a nice day” jawab Tira yang langsung mengakhiri pembicaraan mereka, karena sudah tampak Bian di luar kamar yang datang untuk menepati janjinya hari ini.

“Hai, mau minum minum dulu, atau langsung capcus?” tawar Tira.

“Terserah tuan putri deh…” singkatnya.

“Langsung aja yaa, minumnya nanti aja di luar” jawab Tira sembari mengunci
kamarnya. Dan langsung menggandeng lengan Bian menuju depan hotel. “Yuk ..” sambungnya.

“Jangan bilang pengen ke Prambanan pake andong!” ucap Bian. “Lumayan jauh tau, kasian kan kudanya..” sambungnya.

“Ia ia tau kok” singkat Tira yang langsung naik ke motor Bian dan duduk dibelakang lelaki ini.

Sepanjang perjalanan menuju Candi Prambanan, mereka isi dengan canda dan tawa. Bianpun mengajak Tira berhenti sejenak untuk berfoto-foto di sepanjang jalan Monumen Sebelas Maret dan deretan patung-patung presiden RI.

***

Sudah tiga hari ini Tira terus melewatkan liburannya bersama Bian, masih di Jogjakarta. Malam ini, Bian memindahkan foto di kamera digitalnya ke dalam laptop. Kemudian melihat satu persatu potret Tira dan dirinya dari hari pertama Tira berada bersamanya. Senyumpun muncul dari bibirnya.

“Udah tidur, ya?” ucapan pertama Bian saat menelepon sosok yang sedang ia lihat potretnya ini.

“Ia nih, capek banget rasanya..” jawab Tira. “Kamu ngga capek ya, kok belum tidur sih?” lanjutnya.

“Ya baru mau tidur sih.. Aku mau ngomong..” ucapnya yang kemudian teridam sejenak.

“Hmm.. Besok pagi aku ke kampus dulu, jadi ngga bisa nemenin kamu dari pagi” sambungnya.

“Ngga apa-apa, Bab. Jangan sampe absen gara-gara nemenin Tira. See you yaa ..” jawabnya bijak.

***

Sore ini setelah Tira mencari oleh-oleh makanan khas Jogjakarta, Bian sampai di hotel tempat Tira menginap. Mereka berceritera sembari menunggu waktu makan malam tiba.

“Kok udah beli oleh-oleh sih, kayak udah ada rencana balik ke Bandung nih?” tanya Bian.

“Tadi Tira iseng naik becak, terus bapak tukang becaknya nanya, udah beli oleh-oleh apa belum? Ya udah, akhirnya dia anter Tira ke tempat oleh-oleh. Dan kata si mbaknya sih tahan sampe 3 harian lagi nih makanannya..” jelas Tira.

“Berarti kamu ngga nyampe tiga hari lagi ada disini?” lanjut Bian.

Tira hanya mengangkat bahunya menandakan ketidakyakinannya. “Eh, jam 7 nih, sekarang aja yuk!” ajak Tira sembari melihat jam di tangannya. “Tapi kita jalan aja yaa..” pinta Tira.

“Monggo tuan putri…” singkat Bian.

Malam ini Bian mengajak Tira mencicipi kuliner burung dara goreng khas Jogja, masih di tempat lesehan juga.

“Gudeg mulu kan bosen, tho? Yang ini beda.. Di Bandung ada juga sih kayaknya, tapi
khas Jogja ya disini..” pamer Bian.

“Hmm ngga tega Tira makannya, tapi enak juga yaa, garing banget lagi..” saut Tira ketika mencicipi kuliner ini.

Masih di tempat yang sama, setelah selesai makan malam, Bian mengatakan bahwa ia ingin membicarakan suatu hal.

“Apaan sih, sok resmi deh kamu..” singkat Tira.

“Serius, aku mau tanya nih..” lanjut Bian. “Selama disini, tepatnya selama deket sama aku, kalo aku perhatiin kok kamu ngga pernah telepon-telepon orang rumah sih? Smsan juga engga kayanya..” sambungnya.

Tira terdiam sesaat. “Ngga penting banget sih, Bab! Pertanyaan kayak gitu yang kamu bilang serius?!” jawab Tira sedikit emosi. “Duuhh, ngga usah nanya-nanya itu deh, Bab..” ucapnya dalam hati.

“Ya udah, ngga jadi deh aku tanya-tanyanya..” singkatnya yang kemudian juga terdiam sesaat.

Tak lama kemudian, handphone Tira yang berada di atas meja berdering, dan tanpa sengaja Bian melihat nama pemanggilnya. Merekapun saling pandang.

“Kok ngga diangkat, Ra?!” tanyanya sembari masih menatap Tira. Tira hanya menggelengkan kepalanya, Tira terlihat bingung. “Kamu capek ya, mau aku anter pulang?!” lanjut Bian.

“Tira masih mau jalan, Bab” singkatnya masih dalam keadaan bingung. “Kemana ya?” lanjutnya.

“Puter-puter aja ya, pake becak atau andong?” tanya Bian.

“Becak boleh deh..” singkat Tira.

Bian lalu memanggil becak untuk mereka tumpangi, lalu ia mempersilahkan Tira untuk menaikki becak itu terlebih dahulu.

“Ra, aku liat kamu hari ini kok beda sama kemarin-kemarin sih? Kenapa, udah ngga betah disini yah? Apa aku sebagai guidenya kurang bikin puas liburanmu?” lanjut Bian memastikan keadaan Tira.

Lagi-lagi Tira terdiam. Ia bingung antara ingin menceritakan semua permasalahannya agar hatinya sedikit lega, dan ragu jika ada orang yang tahu permasalahannya ini.

“Bab, Tira bener-bener seneng, puas bisa jalan-jalan disini sama kamu. Walaupun sebenernya Tira nyasar dan disini bukan tujuan liburan Tira. Untung Tira punya kamu..” jelas Tira. “Ehmm.. maksudnya, untung Tira punya temen disini, gitu..” lanjutnya segera mengkoreksi kata-katanya.

“Ada yang mau kamu certain ke aku?” tanya Bian ketika mereka bersantai sejenak di daerah alun-alun Kidul sembari memesan jagung bakar.

“Hagh?! Bab, kenapa sihh ..”

“Bukannya aku sok ngeramal ya, tapi dari wajah kamu tuh keliatan banget kalo kamu lagi punya masalah” ucap Bian memotong pembicaraan Tira. “Kamu kalo mau cerita sesuatu, cerita aja. Biar hatimu itu plong rasanya..” sambungnya sambil menikmati jagung bakarnya.

Tira lagi-lagi hanya menggelengkan kepalanya.

***

Keesokan harinya, sore hari setelah menyelesaikan urusan di kampusnya, Bian menjemput Tira yang sudah lama menunggunya di depan hotel.

“Lama ya nunggunya? Sorry ya..” ucap Bian sembari memberikan Tira helm.

“Ngga kok, Tira kesel aja kalo nunggu kamu di dalem kamar..” jawab Tira sembari duduk di motor Bian.

Dalam perjalanannya kali ini, ban motor Bian pecah dan harus dibawa ke bengkel. Tirapun turun dari motor dan sesekali membantu Bian mendorong motornya. Tidak lama merekapun tiba di bengkel, dan sembari menunggu, Bian mengajak Tira ke café yang letaknya tidak jauh dari bengkel. Bian memesankan minuman segar, special sebagai tanda permintaan maafnya. Tira hanya tertawa kecil karena ini pengalaman pertamanya mendorong motor.

“I’m so sorry, Ra… “ ucap Bian merasa tidak enak.

“Nyantai aja, Bab. Toh Tira baik-baik aja kan?!” jawabnya. “Tira ngga bakal nyesel kok jalan sama kamu” sambung Tira sembari meneguk minuman specialnya.

“Ada-ada aja sih tu motor, sampe-sampe kamu jadi ..”

“Engga apa-apa, Bab.. Kenapa sih dipikirin banget hal sepele kayak gini doang?” ucap Tira memotong pembicaraan Bian, memastikan dirinya no problem. “Tira asyik-asyik aja kok” lanjutnya.

“Ra, boleh jujur ngga?” tanya Bian singkat.

“Tentang apa ya?!” jawab Tira penasaran.

Belum sempat menjawab pertanyaan Tira, seorang karyawan bengkel menelepon Bian, memberitahu bahwa motornya sudah selesai diperbaiki.

“Motornya udah beres, Ra. Balik ke bengkel yuk!” ajak Bian.
Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini Bian mengajak Tira ke tempat karaoke untuk melepas penat. Menyanyi solo hingga berduet mereka lakukan. Bianpun melihat kembalinya keceriaan Tira, setelah kemarin Tira tampak murung. Setelah dua jam puas bernyanyi, Bianpun mengajak Tira makan malam, kali ini di café sebelah tempat karaoke.

(Kamu takkan pernah mendapatkan cinta. Cinta seperti yang aku berikan kepada kamu. Kamu nanti pasti kan menyadarinya. Saat aku tak lagi ada. Cinta ini, cinta yang tak perlu mendapatkan perasaan cinta. Meski hatiku perih menahan cinta yang terluka, cinta yang buatku luka, cinta yang buatku bertahan, meski ada air mati : Cinta Mati 3 by Mulan Jameela)

“Oia, tadi sore kalo ngga salah, kamu mau jujur sesuatu. Apaan sih?” tanya Tira mengingatkan.

“Sebenernya sih hal kayak gini harusnya ngga usah aku omongin. Tapi kok ngeganjel di hatiku ya?” jelasnya.

“Ya udah, omongin aja..” jawab Tira mempersilahkan Bian membicarakan hal yang ingin diutarakannya.

“Ra, jujur semenjak kamu disini, hidup aku berubah..” singkatnya.

“Berubah? Ke arah yang lebih baik?” tanya Tira.

“Hari ini, malem ini, dan detik ini, aku mau nebelin mukaku deh. Aku mau jujur semuanya, biar hati aku sedikit plong” jelas Bian sembari menatap Tira yang duduk manis dihadapannya. “Aku harap kamu mau denger dan ngerti ya..” sambungnya.
Dengan sebaik-baiknya Tira mendengarkan semua cerita Bian, ia begitu shock ketika Bian jujur akan perasaannya…

“Kamu inget ngga pertama kali reunian angkatan kita?” tanya Bian yang diiringi anggukan kepala dari Tira pertanda Tirapun masih mengingat moment itu. “Waktu itu aku kagum sama kamu setelah sekian lama kita ngga ketemu..” lanjutnya yang kali ini diiringi senyuman dari Tira. “Reunian itu kan kita semua tuker-tukeran nomer handphone? Kamu tau ngga betapa girangnya aku setiap smsan sama kamu?” lagi-lagi Tira hanya tersenyum mendengar pengakuan lelaki dihadapannya ini. “Jujur, Ra, semenjak saat itu aku nyimpen perasaan buat kamu” aku Bian.

“Oh iya? Apa yang bikin kamu kagum sama Tira?” tanya Tira basa basi.

“Itu ngga penting, hanya aku yang tahu kenapa perasaan ini bisa muncul..” jawab Bian yang masih terus melontarkan pembicaraannya. “Setiap ada acara kumpul-kumpul, aku selalu berusaha ngumpulin uang untuk bisa balik ke Bandung dan bisa ikutan ngumpul. Terutama supaya bisa liat kamu dari deket” lanjutnya. “Dan kamu tahu, aku pernah sakit hati sama kamu, dan sakit itu bikin harapan aku mati?!” sambungnya.

“Segitunya?!” Tira semakin penasaaran dan ingin terus mendengar kejujuran Bian.

“Inget juga ngga, waktu kita ngumpul-ngumpul acara buka puasa bareng? Kamu bilang baru putus sama cowok kamu dan kamu cerita bahwa kamu sakit hati minta ampun?!” Tira menganggukan kepalanya. “Aku puas dan bahagia banget denger kamu putus dari mulut kamu sendiri, karena aku ngerasa punya peluang untuk jadi bagian dari hidup kamu. Aku telepon kamu, sms kamu, itu semua usaha aku untuk deketin kamu. Karena cuma itu yang bisa aku lakukan, aku ngga bisa setiap hari nemuin kamu karena aku harus ngejalanin hidup aku di Jogja sini” jelas Bian panjang lebar.

“Terus?” Tira penasaran.

“Ya ternyata usaha aku sia-sia! Aku juga nyesel banget kenapa ngga bisa jujur tentang perasaan aku waktu itu! Aku terlalu pengecut untuk ngomong suka, ngomong sayang, padahal perasaan ini udah cukup lama aku pendam” lanjutnya. Kali ini mata Tira mula terlihat berkaca-kaca. “Aku ngerasa setengah gila waktu aku denger kamu married dan kamu married sama cowo yang kamu bilang bikin kamu sakit minta ampun itu! Ya, kamu married sama mantan kamu yang jelas-jelas pernah bikin kamu sakit!” lanjutnya lagi. “Ra, kamu pasti bisa bayangin gimana sakitnya aku kan? Sampe aku ngga sudi datang ke acara kamu itu!” sambung Bian masih bersemangat membuka kejujuran hatinya. “Dan satu hal terbodoh dalam hidup aku, sejak kamu married, aku berusaha punya hubungan dengan sembarang cewek. Tapi karena perasaan terhadap kamu masih juga belum hilang, aku memutuskan untuk tunangan sama dia, walau tanpa perasaan apapun! Karena aku pikir ini bisa bikin aku lupa sama kamu, Ra!” sambungnya, dan kali ini ia melihat wanita dihadapannya meneteskan air mata.

Kemudian ia terdiam sesaat.

(Kau tak akan bisa buatku menjauh. Dan kau hancurkan aku jika kau pergi dariku membuang hidupku. Ku tak akan bisa menjauh darimu sepanjang hidupku. Ku tak akan bisa melihat dirimu bersama dirinya. Kau kudambakan tapi tak mungkin kudapatkan. Harus kusadari itu : Ku Tak Akan Bisa by Nidji)

“Aku berusaha terus ngejalanin hubungan aku sama dia sebaik-baiknya. Aku berusaha legowo, aku harus bisa nerima kenyataan dan akhirnya aku simpen perasaan terhadap kamu di dalam hati aku. Bukan ngelupain kamu, tapi nyimpen kamu disini” ucapnya sembari menyimpan tangannya di dada. “Dengan kehadiran kamu disini semenjak beberapa hari ini, itu bikin perasaan aku muncul lagi ke permukaan. Ngga bisa aku rem ..” lanjutnya sembari menghapus air mata yang sudah jatuh di pipi Tira. “Kamu terharu denger cerita aku? Kamu iba sama aku?” tanyanya.

“Bian, aku ngga pernah nyangka.. Ngga pernah nyangka kamu punya perasaan itu untuk aku. Selama inipun aku …”
(Tak kusangka dirimu hadir di hidupku. Menyapaku dengan sentuhan kasihmu. Kusesali cerita yang kini terjadi. Mengapa disaat ku telah berdua : Cinta Dua Hati by Afgan)

“Aku apa, Ra?” tanya Bian penasaran.

“Aku juga mendam perasaan yang sama…” jujur Tira sembari masih terus menangis.
Bian terdiam sesat mendengar pengakuan Tira. “Kamu ngga usah berusaha bikin aku seneng, Ra.. Aku cuma ingin jujur supaya hatiku ini sedikit lega” lanjutnya sembari menarik nafas panjang.

“Bian, aku ngga ngada-ngada. Coba kamu pikir, apa pantes waktu itu aku nyatain
perasaan aku duluan? Apa pantes seorang cewek nembak cowok, itu terlalu gengsi buat aku.. Sementara, aku ngga pernah tau perasaan kamu yang sesungguhnya?” jelas Tira.

“Kamu yakin ngomong kayak gini?” tanya Bian masih tidak percaya. Tira hanya menganggukan kepalanya, menundukkan kepalanya terlihat sedikit malu karena telah jujur. Bianpun memberanikan diri memegang tangan Tira yang sedari tadi kaku di atas meja.

“Mungkin ini kesalahan kamu atau juga kesalahan aku yang ngga pernah berani untuk jujur. Dan kenapa harus terungkap disaat keadaan aku udah ngga sendiri lagi kayak gini..” lanjut Tira yang merasa nyaman dengan sentuhan Bian.

“Kamu ngga perlu nyalahin aku ataupun nyalahin diri kamu sendiri, ini hanya waktu yang bisa menjawab” ucap Bian. “Thanks banget ya, Ra kamu juga ternyata .. Ternyata perasaan kita .. Huh aku ngga ngerti harus ngomong apa..” sambungnya sembari tersenyum puas. “Udah malem, kayaknya cuma kita yang nampak betah disini, kita pulang yah, kita lanjutin ngobrolnya nanti” ajak Bian.

Diperjalanan kembali ke hotel, keduanya masih terdiam, karena tidak disangka perasaan mereka ternyata tidak berbeda. Hanya karena tidak berani bicara, Bian harus kehilangan wanita impiannya. Dan hanya karena gengsi, Tirapun harus berusaha melupakan Bian dan memutuskan menikah dengan lelaki lain yang mencintainya. Bian lalu mengantar Tira sampai ke kamarnya.

“Kamu mau masuk dulu?” tanya Tira sembari membuka pintu kamarnya.

“Kalo masih boleh ngobrol sih, aku masih pengen ngobrol banyak, Ra” jawabnya berharap.

“Ya udah, masuk yuk..” ajak Tira dan mempersilahkan Bian duduk di ruang tamu kamarnya. “Aku ambil softdrink dulu ya..” lanjutnya sembari berjalan menuju lemari pendingin di dekat tempat tidurnya.

“Suamimu apa kabar?” tanya Bian membuka perbincangan.

“Baik sih, tapi ..”

“Kenapa?” sambung Bian.

“Aku niat liburan ini, selain liburan semester juga liburan karena aku penat, Bab.. Eh, Bian maksudnya..” ucap Tira yang segera memperbaiki ucapannya.

“Hahaa .. Kaku ya kalo panggil nama aku? Ngga apa-apa kok aku rela dipanggil apa aja sama kamu..” jawabnya sembari masih terus tertawa girang. “Aku semangat banget loh beberapa hari ini. Kamu penyemangat aku dari dulu” lanjutnya. Tira memandang lelaki yang kali ini duduk disebelahnya. “Penat kenapa kamu?” sambungnya lagi.

“Ada sedikit masalah aja, biasa lah.. Tapi aku pergi kayak gini juga dia ngga khawatirin aku kayaknya” jawab Tira sembari meneguk minuman softdrinknya.

“Siapa bilang, dengan dia telepon kamu dan kamu ngga jawab, itu bikin dia khawatir. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama kalo aku ada di posisinya” lanjut Bian.

“Kamu ya kamu, dia ya dia, beda dong..” lanjut Tira.

“Aku masih ngga nyangka loh, keadaan kita, perasaan kita, kok sama yaa?” tanya Bian terlihat bingung.

“Terus kita harus gimana ya, Beib?” sambung Tira.

“Apa? Apa coba ulang sekali lagi, apa aku ngga salah denger?” ucap Bian kegirangan.
Tira menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Ra, aku jujur sama kamu ini, ngga ada maksud minta kamu ngelakuin apapun dan aku juga ngga akan ngelakuin apapun. Aku ngga mau ngerubah keadaan yang udah terjadi. Kita ngga boleh sesali itu..” ucap Bian bijak, sembari memegang kembali tangan Tira yang halus. Sesaat mereka terdiam. “Besok pagi, aku anter kamu ke stasiun yah, kamu harus pulang” lanjutnya. “Sejujurnya aku ngga mau kehilangan semangat aku, aku ngga mau kamu kembali ke Bandung. Tapi aku ngga bisa egois, tempat kamu bukan disini, kamu bukan untuk aku, Ra. Kamu harus kembali ke suami kamu, kamu punyanya dia..” sambungnya.

“Boleh aku pinjem bahunya?” pinta Tira yang kemudian bersandar di bahu Bian setelah mendapat persetujuan dari Bian.

(Nikmati detik demi detik yang mungkin kita tak bisa rasakan kembali. Hirup aroma tubuhku yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu. Nyanyikan lagu indah sebelum ku pergi dan mungkin takkan kembali. Nyanyikanlah lagu indah untuk melepasku pergi dan tak kembali. By : Lyla)

“Dengan nyasarnya kamu kesini, bikin kita jadi tahu kenyataan yang sebenarnya. Iya kan?” canda Bian diiringi senyuman Tira. “Makasih banget kamu udah denger semua yang ingin aku utarakan. Dan aku bener-bener ngga nyangka kamu juga bikin hati aku bahagia” lanjutnya sembari mengecup kening Tira. “Udah malem, aku pulang ya.. Kamu cepet tidur, biar besok pagi ngga telat pulang ke Bandung” lanjutnya.
Tira menarik dirinya dari bahu Bian, ia mengantar Bian sampai depan pintu kamarnya.

“Udah, jangan jadi pikiran ya semua omonganku tadi. Aku pulang ya..” pamit Bian sembari mengelus pipi Tira dan juga memberikan senyuman manisnya.

Di dalam kamar, sembari membereskan isi kopornya, Tira terus membayangkan sosok Bian, ia juga terus mengingat semua pembicaraannya hari ini. Di atas ranjangnya, Tira tersenyum kecil membayangkan kecupan hangat Bian sampai ia akhirnya tertidur. Sementara Bian, mampir terlebih dahulu ke suatu toko untuk membeli sesuatu dan kemudian kembali ke rumah kontrakannya.

***

Pagi hari ini, Bian sudah diperjalanan menuju hotel untuk menjemput wanita kesayangannya menuju stasiun, dan juga menyaksikan kembalinya Tira ke bandung.

“Pagi cantik ..” ucapnya saat Tira membukakan pintu kamar dan disambut senyuman indah milik Tira. “Udah siap?” lanjutnya sedikit menunjukkan wajah sedihnya.

“Beib, aku mau kasih ini buat kenang-kenangan yah. Aku beli disini juga sih, ngga apa-apalah, bisa kamu pake ke kampus atau kemana kek..” ucap Tira sembari memberikan satu keranjang tas belanjaan berisi beberapa kaos pilihannya.

“Terharu deh aku denger kamu manggil aku “Beib” untuk yang ke dua kalinya.. Makasih ya kenang-kenangannya” lanjutnya. “Udah diperiksa lagi, ngga ada yang ketinggalan?” sambungnya sembari membantu membawakan tas kopor milik Tira.

Diperjalanan menuju stasiun yang tidak jauh dari hotelnya, sekali lagi Bian mengucapkan rasa terimakasihnya. Bian janji liburannya nanti akan mengunjungi Tira di Bandung apapun yang terjadi.

“Ini buat kamu, jangan dibuka disini ya, malu diliatin orang” ucap Bian di kursi tunggu, sembari memberikan sebuah bingkisan kecil berhias pita, terlihat manis sekali.

“Apa nih, kok kamu juga ngerepotin sih, Beib…” jawabnya tersenyum malu.

“Apapun isinya, itu ngga boleh ngerubah keadaan yang udah terjadi. Kamu dan aku harus ngelanjutin hidup kita masing-masing” ucap Bian sembari memegang kedua tangan Tira. “Perasaan kita yang ternyata sama, biar kita simpan dalam-dalam dihati kita masing-masing. Untuk yang terakhir kali, terimakasih untuk kehadiran kamu disini yang penuh arti dan penuh kenangan di kotaku ini” lanjutnya. “Kalo ngga malu, aku juga kepengen nangis kayak kamu. Tapi aku kuat dari dulu ngadepin hati dan perasaan aku ini. Kamu juga harus kuat sama kayak aku..” lanjutnya lagi sembari menghapus air mata Tira yang tidak sengaja menetes lagi. “Love you, Princess…” ucapnya sembari memeluk Tira.

(Cinta adalah misteri dalam hidupku yang tak pernah ku tahu akhirnya. Ku ingin selamanya mencintai dirimu sampai saatku akan menutup mata dan hidupku. Ku ingin selamanya ada disampingmu menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku. Ku ingin Selamanya by Ungu)
Berat rasanya melepas pelukan itu, namun kereta yang akan ditumpangi Tira sudah tiba. Bian mengantar Tira sampai ke tempat duduknya, memastikan Tira aman di kereta itu. Dan karena sudah ada pemberitahuan kereta ini akan segera berangkat, Bian bersiap untuk pergi dari hadapan Tira.

“Baik-baik ya..” pesan Bian.

“Kamu juga, Beib..” lanjut Tira masih memegang lengan Bian.

“Inget ya, kita ngga perlu ngerubah keadaan. Lanjutin hidup kamu, kamu selalu disini” jawabnya sembari menempelkan tangan Tira di dadanya. Sekali lagi Bian memeluk Tira.

Bian turun dari kereta dan berdiri di luar jendela tepat Tira duduk dikursinya.
“Hati-hati” ucapan terakhirnya diiringi senyum dan lambaian tangannya. Setelah kereta berjalan jauh dan sudah tidak tampak sosok lelaki itu, Tira mengambil bingkisan kecil pemberian Bian dari dalam tas tangannya. Ia lalu membuka bingkisan itu dengan hati-hati.

“Cincin?!” ucapnya dengan diiringi senyumannya. Tak lupa ia membaca sebuah tulisan
yang tertera di kartu ucapannya “Untuk cintaku selamanya..” Ia kemudian memasukkan cincin dan kartu ucapan itu kembali ke dalam kotak dan menyimpannya dalam tas. Lalu ia mengirimkan sebuah pesan singkat “Thanks, tapi aku mau kamu yang pasang cincin itu di jari aku. Aku tunggu kamu di Bandung”

***

Putri Handayani 26 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar