Rabu, 26 Mei 2010

KETIKA CINTA BICARA (cerpen)


Celia masih terus menangis di kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya, juga masih dengan guyuran air yang mengalir dari shower. Dua testpack yang berbeda merek itu masih ia genggam dengan eratnya. Namun ketika ia menyadari bahwa hal ini sudah terlanjur terjadi dan tidak perlu ia sesali, ia segera mengganti pakaiannya yang basah, dan menghubungi seseorang yang ingin ia temui.

“Ada waktu sebentar ngga?!” ucapnya saat mencoba menelepon Yogi, seseorang yang dimaksud.

“Kenapa Cell?” singkatnya.

“Ada yang ingin aku omongin, Gi..” lanjutnya lirih.

“Oke, aku ada di rumah kok..” sambungnya.

Wanita ini kemudian mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, memoles wajah manisnya dengan sedikit bedak dan lipgloss, juga memberikan sentuhan minyak wangi pada tubuhnya. Lalu dengan terburu-buru ia menggas maticnya menuju tempat tujuan.

“Tiiiiinn ..” Celia membunyikan klakson mobil sesampainya di depan rumah Yogi. Tidak lama kemudian Yogi keluar dari rumahnya dan menghampiri Celia yang masih berada di dalam mobil.

“Apa kabar Cel?” tanyanya sembari membukakan pintu mobil untuk Celia. Celia lalu tersenyum. “Loh, wajah kamu pucet banget, kamu sakit?” lanjutnya sedikit panik. “Masuk yuk!” ajaknya sembari menuntun Celia menuju rumahnya. “Kamu duduk di sini, aku ambil minum dulu ya..” sambungnya.

Celia memegang lengan Yogi, menahannya yang hendak beranjak menuju dapur. “Ngga usah, Gi..” ucapnya lirih.

Kemudian mereka duduk bersebelahan di kursi yang sama. “Kamu beneran ngga apa-apa?” tanya Yogi sekali lagi ingin memastikan keadaan Celia.

Celia menganggukkan kepalanya, berusaha menunjukkan dirinya dalam keadaan baik. “Gi, aku mau tunjukkin sesuatu..” ucapnya tanpa basa-basi.

“Apa?” singkat lelaki yang masih ia cintai ini.

Celia mengambil sesuatu dalam tasnya dan kemudian memberikan sebuah benda kecil itu pada Yogi. Yogipun menerima barang itu dengan sedikit rasa tidak menyangka.

“Testpack?!” tanya Yogi dalam hati. Yogipun memperhatikan baik-baik benda itu, kemudian ia melihat dua garis merah yang terlihat jelas. “Maksud kamu? Ini ..” ucap Yogi seolah tidak mengerti, lalu sejenak ia terdiam. “Kamu..” lanjutnya ingin menebak apa yang dimaksud Celia.

“Gi, semenjak aku married, aku ngga pernah “ngelakuin” apapun sama dia..” sambung Celia. “Aku ngga bisa…” ucap Celia berkaca-kaca dan lalu terdiam. “Tapi kamu ngga lupa kan, apa yang udah kita lakuin sebelum aku married?” lanjutnya lagi sembari meneteskan air mata.

Yogi terdiam sembari menatap barang yang masih ia genggam. “NGGA MUNGKIN, Cell!! Kamu yakin?!” tanya Yogi masih belum percaya.

“Terus kalo bukan kamu siapa lagi yang bikin aku kayak gini?” tanya Celia sembari menunjuk perutnya yang mulai berubah. “Sementara aku ngga pernah “ngapa-ngapain” sama suami aku sendiri!” lanjutnya.

“Dia.. suami kamu tau masalah ini?” tanya Yogi terbata-bata.

“Kamu gila ya, kalo dia sampe tau, dia bakal bingung sendiri karena dia ngga pernah nyentuh aku sama sekali!” jawab Celia sedikit emosi. “Oke, kalo kamu pikir aku bohong, sekarang juga aku bisa tes ulang di depan kamu..” lanjutnya sembari menunjukkan testpack yang masih terbungkus.

“Ngga perlu, Cell!” singkatnya. “Kita ke dokter sekarang juga!” lanjutnya panik.

“Iya itu lebih baik, supaya kamu dapet kejelasan dan bisa hitung usia kehamilan aku ini!” jawab Celia tegas.

Dengan menggunakan mobil Celia, merekapun menuju dokter kandungan terdekat. Di depan matanya sendiri, Celia diperiksa oleh dokter yang cukup handal. Setelah memberitahu usia kehamilan Celia, dokterpun memberikan sedikit pesannya. “Selamat ya Pak, dijaga baik-baik istri dan calon anaknya. Jangan lupa untuk rutin check-up”.

Diperjalanan pulang, mereka terdiam. Celia menangis kebingungan, ia tak tahu pertanggungjawaban seperti apa yang harus ia berikan kepada keluarganya. Sesekali Yogi mengelus perut Celia, sesekali juga Yogi menggenggam tangan Celia, sembari terus menyetir mobil menuju rumahnya kembali.

“Kamu masih ragu?” tanya Celia disertai isak tangisnya.

Yogi menatap Celia dan kemudian menggelengkan kepalanya. “Sabar ya, kita cari dan kita pikirin jalan keluarnya” ucap Yogi menenangkan Celia. “Maafin aku, harusnya aku ngga lakuin itu” lanjutnya menyesal.

Di rumah Yogi, merekapun berusaha keras mencari jalan keluarnya. “Yang pasti, baby ini harus tetap hidup. Dia harus lahir, Cel..” ucap Yogi sembari mengelus perut Celia lagi.

“Aku juga ngga pernah terpikir untuk bunuh bayi ini, Gi..” jawab Celia sembari menghapus air matanya. “Aku cuma bingung untuk ngomong sama semua orang di rumah..” lanjutnya.

“Aku nyesel.. Kenapa waktu itu aku rela ngelepas kamu, untuk nikah sama orang lain yang ngga kamu cinta? Kenapa aku biarin kamu, ngga bahagia sama dia? Kenapa aku harus mundur dan ngalah demi terlaksananya rencana keluarga kamu itu?!” ucapnya emosi dan penuh sesal. Yogi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terlihat berpikir keras mencari jalan terbaik. “Harusnya aku yang ada di posisi dia, harusnya aku jagain kamu setiap saat disaat kamu.. mengandung anak aku, harusnya ..”

“Gi, tadinya aku juga ngga bisa terima kenyataan bahwa di perut aku ini..” jelasnya terbata-bata. “Tapi apa yang bisa kita lakuin, ini semua udah terjadi!! Ngga ada yang bisa disesalin, Gi..” ucap Celia saat melihat Yogi mulai resah, marah, dan bingung. “Dalam kondisi seperti ini, kita ngga akan bisa mikir apa-apa. Butuh waktu untuk dapetin jalan keluarnya..” lanjutnya sembari mengelus lengan lelaki ini. “Aku harus pulang, Gi..” sambungnya.

Yogi membelai rambut Celia kemudian membawa Celia bersandar di bahunya. “Jangan ada yang tahu masalah ini, siapapun termasuk sahabat kamu sekalipun. Kita harus bisa sama-sama jaga baby ini sampai dia lahir..” ucap Yogi sembari terus mengelus rambut Celia yang panjang tergerai.

“Kamu harus istirahat yang banyak ya..” pesan Yogi saat mengantar Celia menuju mobilnya. Celia lalu masuk ke dalam mobilnya, ia membuka kaca jendela sembari menyalakan mobilnya. “Jangan terlalu capek..” pesannya lagi. Celia tersenyum, kemudian pergi dari hadapannya.

“Gue tau ini kesalahan terbesar dalam hidup gue! Gue salah besar!” ujarnya dalam hati saat ia berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. “Harusnya gue ngga terbawa suasana waktu itu, karena saat itu gue udah tau dia pasti jadi milik orang lain! Tapi kenapa gue lakuin itu?!” lanjutnya sembari menjatuhkan tubuhnya di ranjang. “Shitt!! Sekarang ini dia udah jadi istri orang lain, sementara anak gue anak di dalem perutnya. Apa bisa gue jagain anak gue dan orang yang harusnya jadi istri gue?!!” tanyanya lagi. “Tapi apa bener itu anak gue? Ngga mungkin juga Celia ngada-ngada..” sambungnya. Yogi kemudian memejamkan matanya, ia teringat kembali dan terbayang satu minggu yang indah bersama Celia, dimana mereka saling “bicara” tentang perasaan mereka masing-masing.

Saat itu, satu minggu sebelum hari pernikahan Celia, gadis ini mendatangi Yogi dan memberanikan diri untuk berkata jujur tentang perasaannya yang sudah bertahun-tahun ini ia pendam. Ia akan dijodohkan oleh orang tuanya, maka ia merasa harus jujur agar hatinya lega dan juga agar ia tenang menjalani rumah tangganya nanti bersama pria pilihan orangtuanya.

Yogi, saat itu tidak menyangka bahwa wanita yang selama ini juga ia perhatikan, ternyata memiliki perasaan yang sama dengannya. Penyesalanpun akhirnya menggerogoti pikirannya saat itu. Ia menyesal tidak sedari dulu menyatakan perasaannya, karena terlalu gengsi dan terlalu pengecut untuk bicara cinta.

Memendam cinta secara bersamaan, itu adalah hal yang tidak pernah mereka bayangkan. Jika Celia tidak datang terlebih dahulu untuk mengutarakan perasaannya, mungkin merekapun tidak akan tahu kenyataan yang ada, bahwa ternyata perasaan itu sama-sama ada di dalam hati mereka. Merekapun akhirnya memutuskan untuk bertemu setiap hari di sisa waktu yang Celia miliki. Pertemuan mereka terjadi di rumah Yogi, yang saat ini menjadi tempat penuh kenangan bagi Celia. Banyak hal yang mereka bicarakan di sisa waktu itu. Bicara masa lalu saat sama-sama di bangku SMA, dan tentu saja bicara perasaan yang ada pada Celia juga Yogi, yang selama ini hanya mereka pendam dan hanya mereka rasakan dalam hati. Hingga akhirnya saat itu mereka larut dalam suasana.

Setelah satu minggu mereka habiskan bersama dan setelah hari pernikahan Celia tiba, Yogi pikir ia tak akan pernah bisa lagi berkomunikasi, bertemu, bahkan menjalani hidup bersama wanita yang semula hanya ada dalam khayalannya ini. Namun ternyata masalah besar hadir, yang merupakan efek dari perbuatannya. Yogi tidak berkeinginan untuk menghilangkan masalah itu, ia malah ingin mencari jalan keluarnya agar ia bisa bertanggungjawab sepenuhnya.

“Astagfirullaaahh..” ucapnya beristighfar menyadari kesalahannya.

Ia mengambil air wudhu, dan mengadu pada-Nya. Setelah meminta petunjuk, ia kemudian merapikan diri untuk beranjak dari rumahnya, entah kemana. Dengan motornya, ia mengunjungi beberapa teman di tempat tongkrongannya yang biasa. Namun gelisah selalu terlihat di wajahnya, iapun meninggalkan sahabat-sahabatnya untuk pergi menyendiri.

Diperjalanan, ia melewati supermarket dan ingin membeli sesuatu di dalam sana. Setelah memarkirkan motornya, iapun masuk ke dalam toko. Ia menuju rak susu dan memilih merek susu untuk ibu hamil yang biasa ia lihat di iklan. “Ini untuk Celia..” ucapnya dalam hati sembari tersenyum bahagia. Ya, di dalam kebingungannya, terselip juga kebahagian karena ia merasa akan menjadi seorang ayah. Setelah itu, ia menuju rak buah-buahan dan membungkus beberapa jenis buah. Kemudian tanpa berlama-lama, ia menuju kasir untuk melakukan pembayaran.

Tanpa pikir panjang, ia menuju rumah Celia untuk memberikan bawaan yang sudah ia beli tadi. Namun ketika ia berada di gerbang rumah ibu dari calon anaknya ini, ia melihat mobil milik suami Celia terparkir di garasi rumahnya. Bukan berarti pengecut, tetapi demi kebaikan Celia, ia segera pergi dan menjauh sebelum ada yang melihat kedatangannya. Ia lalu menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah Celia, ia simpan baik-baik plastik belanjaan yang ia bawa.

“Cel..” isi pesan singkat Yogi. Dengan sabarnya ia menunggu balasan dari Celia.

“Ya Gi, kamu baik-baik aja kan?” balas Celia khawatir.

“Aku baru pulang dari rumah kamu..” balasnya lagi, kali ini ia membuat Cella terkejut. Kemudian Cella sembunyi-sembunyi menghubungi lelaki ini.

“Baru dari rumah aku, maksud kamu?” tanya Celia sedikit berbisik.

“Kamu tenang aja, aku ngga sebego itu kok. Aku liat mobil suami kamu, jadinya aku balik lagi” jelasnya.

“Kamu mau nemuin aku?” lanjut Celia masih berbisik.

“Mau temuin anak aku…” ucap Yogi, membuat calon ibu ini tersenyum bahagia. Ya, Yogi memang lelaki yang bisa membuatnya tersenyum bahagia.

***

Pagi ini, tidak lama setelah suami Celia berangkat ke kantor, bell di rumahnya berbunyi. Masih dengan pakaian tidurnya, ia lalu membukakan pintu. Namun ia tidak bertemu dengan siapapun, sejenak ia bingung dan sedikit ketakutan. Lalu ketika ia akan menutup kembali pintu rumahnya, tepat di atas keset yang terletak di depan pintu, ia menemukan kotak berhias pita. Lalu diambilnya kotak itu dan iapun masuk ke dalam rumah.

Ia tersenyum begitu mengetahui isi kotak itu berupa susu untuk ibu hamil, juga beberapa macam buah-buahan. “Yogi..” ucapnya. Ia berjalan ke dapur sembari membawa kotak itu. Disimpannya buah-buahan ke dalam lemari pendingin. Dibuatnya satu gelas susu pemberian Yogi, ini pertama kalinya ia meneguk susu untuk calon buah hatinya. Dan lalu ia sembunyikan kotak susu itu ke dalam lemari yang ia pikir jarang sekali disentuh oleh siapapun.

“Makasih ya, Gi..” ucapan pertamanya ketika menghubungi Yogi lewat telepon genggamnya. “Kamu udah bikin surprise aja pagi-pagi..” sambungnya sembari masih tersenyum.

“Aku mau kamu selalu senyum kayak gitu, jangan sampe kamu stress, itu bakal bikin baby kita ikutan stress loh..” jelasnya sembari terus menggas motornya.

“Kamu lagi di jalan ya?” tebak Celia ketika mendengar suara bising.

“Aku kan dari rumah kamu, jadi aku masih on the way menuju kantor..” lanjutnya lagi.

“Sekali lagi makasih ya, nanti aku calling lagi..” ucapnya mengakhiri pembicaraan.

***

Satu bulan berlalu, Celia dan suaminya masih saja belum melakukan hal yang dilakukan suami istri pada umumnya. Perut Celiapun semakin terlihat membesar setiap harinya. Dan Yogi masih selalu mengingatkan Celia agar ia menjaga calon buah hati mereka. Namun hari ini sepertinya suami Cella merasakan hal yang berbeda.

“Kamu ngga niat kerja di kantorku? Kebetulan di bagianku lagi butuh sekretaris..” ucap Robi menghampiri Celia yang tengah menonton televisi. Ia lalu duduk disebelah istrinya ini.

Celia menggelengkan kepalanya “Untuk apa?” singkatnya sembari terus menonton tayangan televisi, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Robi. “Toh mamaku juga larang aku untuk kerja lagi!” jawabnya sembari memindahkan chanel televisi lewat remote yang dipegangnya.

“Aku liat badan kamu gemukan, aku pikir mungkin karena kamu setiap hari dirumah..” lanjut Robi sembari menikmati cemilan yang terletak di meja, dihadapannya. Celia terdiam mendengar ucapan Robi, ia khawatir Robi mulai memperhatikan badannya. “Maka dari itu aku tawarin kamu kerja supaya kamu bisa lebih jaga tubuh kamu” sambungnya.

“Maksud kamu..”

“O.. bukan, aku sama sekali ngga masalah dengan tubuh kamu. Gemuk atau langsing ngga akan merubah apapun. Aku terima kamu apa adanya, maaf kalo aku salah ngomong..” sambungnya segera memotong pembicaraan Celia.

Celia pergi menuju kamarnya, ia tidak ingin berlama-lama berdebat dengan lelaki pendampingnya ini. Ia duduk di depan meja riasnya, menatap dirinya, ia pegangi pipinya yang mulai chubby, perutnya yang tampak berisi, juga tubuhnya yang akhir-akhir ini mudah lelah padahal ia tidak melakukan aktifitas berat. “Aku kok jadi jelek banget sih, chubby, gendut!!” ucapnya sedikit kecewa.

“Maaf, bukan maksud aku untuk menyindir..” ucap Robi menyusul Celia ke dalam kamar. “Aku ngerti, mungkin kamu ingin di rumah, jadi ibu rumah tangga yang baik. Iya kan?” tanya Robi sembari duduk di sofa tepat disebelah meja rias Celia.

Celia menatap Robi dan ia berkata dalam hati “Seandainya kamu tahu apa yang terjadi dan seandainya kamu tahu apa yang aku alami. Kamu pasti sakit, sama sakitnya seperti yang aku rasakan waktu mama dan papa maksa aku untuk nikah sama kamu!”

“Kamu maafin aku kan, Cel?!” ucap Robi menghentikan lamunan Celia. Celia berusaha tersenyum membuat hati Robi sedikit lega. Robi lalu keluar dari kamar itu, membiarkan Celia seorang diri.

Celia meneteskan air mata, ia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. “Apa yang harus aku ucap dan apa yang harus aku jelasin sama Robi juga sama keluarga aku? Masalah ini terlalu berat dan ngga akan ada yang bisa mengerti dan memaklumi aku…” pikirnya lagi sembari mengelus perutnya, ia rindu belaian Yogi, seseorang yang ia harapkan ada disisinya.

***

Hari selanjutnya, Robi menemukan satu lagi hal yang tidak biasa, yang membuatnya mengernyitkan dahinya. Malam itu, Robi kedatangan tamu di rumahnya. Ia pikir pembantu di rumah sudah tidur, ia lalu tidak keberatan membuat teh hangat seorang diri untuk menjamu tamunya. Ia hanya sedikit kesulitan mencari teh celup, ia mencari kesemua lemari dapur. Namun ketika membuka lemari yang keempat, ia menemukan satu kotak susu bergambar seorang ibu yang sedang mengandung. Terkejutnya ia melihat kotak itu, iapun bertanya-tanya siapa yang meminum susu itu? “Si Bibik, ngga mungkin. Dia belum menikah kan?” ucapnya dalam hati. Namun ia tak memperdulikannya, ia segera mencari kembali teh celup yang ia cari, segera membuatnya, dan menyuguhi tamunya.

Semalaman Robi memikirkan pemilik kotak susu itu. “Ini kayaknya harus aku selidiki..” ucapnya sembari mengembalikan kotak susu itu ke dalam lemari semula.

***

Hari ini Celia menghampiri Yoga, ia sudah tidak bisa menahan rindunya pada sosok lelaki itu, iapun harus segera membicarakan solusi untuk masalah ini. Merekapun membuat janji bertemu di rumah Yogi.

“Kamu bisa dateng sepagi ini?!” ucap Yogi ketika membukakan pintu untuk Celia.

Celia tersenyum dan memeluk sosok dihadapannya itu. “Aku kangen…” singkatnya. Yogipun membalas pelukan Celia.

“Kita masuk ya, ngga enak kalo ada tetangga yang liat..” ajaknya sembari menuntun lengan Celia. “Gimana keadaan kamu?” lanjutnya sembari mengajak Celia duduk di ruang tengah rumahnya.

“Kayak yang kamu liat deh, Gi. Aku jelek, gemuk..” jawabnya sembari menundukkan wajahnya.

Yogi tertawa kecil dan berusaha membangkitkan rasa pecaya diri Celia. “Mamanya anakku ini cantik kok, siapa bilang jelek?!” ucapnya sembari mengelus pipi Celia. Celiapun tersenyum dan kembali memeluk lelaki disampingnya ini.

“Gi, kemarin dia bilang badan aku gemukan. Aku khawatir dia tau keadaan aku..” jelasnya saat Yogi mengambil roti di meja makannya.

“Ooh.. jadi dia yang bikin mamanya anakku ini jadi ngga PD? Iya?!” lanjut Yogi sembari kembali duduk di samping Celia. “Ngapain dipikirin omongannya dia? Makan dulu yaa, kamu pasti belum sarapan kan?” sambungnya menenangkan Celia dan lalu menyuapinya.

“Masalah ini gimana ya?” singkat Celia sembari memegangi perutnya.

“Cel, sebenernya aku udah nemu jalan keluarnya. Kamu bener, perut kamu emang semakin membesar..” ucapnya sembari mengelus perut Celia. “Sepintar apapun kita menyembunyikan masalah ini, suatu saat pasti akan ketahuan. Dan sebelum mereka semua tahu, lebih baik kita yang jujur kan?” sambungnya.

“Maksud kamu, aku harus ngomong sama orangtua aku kalo aku ternyata lagi hamil, kalo aku bakal kasih mereka seorang cucu, tapi dari laki-laki yang engga pernah mereka tahu sebelumnya, bukan dari suamiku? Gitu?!!” tanyanya panjang lebar. “Aku ngga bisa..” lanjutnya kembali meneteskan air mata.

“Lebih baik gitu, sayang..” singkat Yogi sembari menggenggam tangan Celia, ia juga berusaha menenangkan emosi wanita ini.

“Tapi gimana jadinya orangtua aku nanti? Kalo mereka tiba-tiba sakit gimana? Kalo aku dipecat jadi anaknya mereka gimana? Atau kalo kamu dilaporin ke polisi gimana? Aku belum siap untuk jujur..” sambungnya lagi.

“Cel, itu resiko kita! Kita udah buat kesalahan ini, dan orangtua kamu juga salah kan udah maksa kamu nikah dengan orang yang ngga pernah kamu cinta?!” sambung Yogi.

“Apa aku harus minta pengertian dia dan kerja sama untuk nyembunyiin ini dari orangtua aku?!” pikirnya.

“Maksud kamu, kamu mau bilang sama dia bahwa kamu mengandung anak aku?” lanjut Yogi nampak tidak menyetujui ide Celia. “Sementara itu kamu minta sama dia untuk pura-pura jadi ayah dari anak aku? Aku ngga setuju!” sambungnya.

“Atau mungkin aku emang harus pergi dari kamu, Gi..” singkatnya.

(Apalah arti cinta bila aku tak bisa memilikimu. Apalah arti cinta bila pada akhirnya tak kan menyatu. Sesulit inikah jalan takdirku, yang tak inginkan kita bahagia. Bila aku atak berujung denganmu, biarkan kisah ini ku kenang selamanya. Tuhan tolong buang rasa cintaku, jika tak kau ijinkan aku bersamanya. Inilah saatnya ku harus melepaskan dirimu : Apalah Arti Cinta by SHE)

Yogi lalu memeluk Celia “Aku yakin kamu ngga akan bisa lupain aku, Cel. Aku ini ayah dari anak kamu..” ucapnya sembari melepas pelukannya. “Pasti masih ada jalan keluar yang lain, tanpa kita harus berpisah lagi..” sambungnya sembari menghapus air mata Celia.

(Bila masih ada kesempatan untuk kita bertemu disini hari ini. Bila masih ada waktu untukku dengannya, kembali bersama dengan dirinya. Mungkinkah saat itu kan datang? Oh Tuhan berikan aku waktu dengan dirinya : Bila Masih Ada Kesempatan by Pinkan Mambo).

Sore harinya Celia pamit pulang karena ia ingin sampai di rumah sebelum suaminya pulang. Setelah beberapa saat Celia keluar dari rumah Yogi, tiba-tiba bell rumahnya berbunyi kembali. Ia membukakan pintu, lalu ia terkejut dengan kedatangan Robi.

“Robi?” ucapnya terkejut. “Sabar.. Kita ngobrol di dalam..” lanjutnya panik dan berusaha menenangkan Robi. Ia lalu mempersilahkan suami Celia ini untuk duduk. “Gue siap jelasin apapun yang loe tanya..” sambungnya.

Robi bingung apa yang dimaksud Yogi, ia hanya ingin tahu siapa pemilik rumah yang dikunjungi istrinya dan apa penyebab istrinya datang ke rumah itu.

“Apa hubungan loe sama Celia?!” singkatnya. “Dan ada apa Celia kesini?!” lanjutnya penasaran.

“Ok gue jelasin..” sambungnya. “Sorry, gue sama istri loe saling mencintai..” jawabnya tanpa basa-basi.

Robi terkejut mendengarnya, namun ia berusaha menahan amarahnya demi terjawab semua pertanyaan dalam hatinya. “Gue tahu pacarnya yang terakhir sebelum dia married sama gue, dan itu bukan loe?!” lanjutnya. “Sejak kapan kalian saling mencintai?!” sambungnya lagi.

“Ya, gue emang ngga pernah pacaran sama dia dan sebelumnya gue ngga pernah nyangka ini akan terjadi sama gue..” ucapnya memulai penjelasannya. “Ngga pernah terbayang di benak gue untuk mencintai seseorang yang akan menjadi istri oranglain, dan perasaan itu masih terus ada sampai hari ini..” Yogi terus menjelaskan panjang lebar tentang ia dan Celia. Iapun merasa ini waktu yang tepat untuk membongkar semuanya.

Robi pulang dengan hati yang sedikit lega, namun sakit. Ia lega karena semua pertanyaannya terjawab sudah, ia tahu mengapa Celia tidak pernah menganggap dirinya, bahkan ia tahu mengapa semakin hari badannya semakin terlihat gemuk. Namun ia sakit, sakit karena harus rela menerima kenyataan ini.

Sesampainya di rumah, ia masih terlihat murung. Celia yang sedang duduk di depan meja riasnya, tengah membersihkan wajahnya dari make-up, ingin menanyakan apa yang terjadi pada lelaki itu. Setelah Robi mengganti pakaiannya, tiba-tiba Robi duduk di sofa yang terletak di samping meja rias Celia.

“Cel..” singkatnya masih dengan wajah murungnya. Celia terdiam sembari terus menatap dirinya pada cermin dihadapannya. “Cel, Please, kali ini aja kamu denger aku!” lanjutnya sedikit membentak. “Kali ini aja liat mata aku! Kapan sih aku minta-minta sama kamu?!” sambungnya lagi.

Celia Nampak kebingungan dengan tingkah Robi kali ini. Selama Celia satu atap dengan suaminya ini, Robi adalah lelaki yang tidak pernah sedikitpun menunjukkan emosinya. Namun Robi menahan emosi dan menahan apa yang ingin ia sampaikan pada Celia, istrinya.

***

Pagi ini setelah sarapan pagi, Robi meminta Celia untuk ikut ke kantornya. Ia mengatakan bahwa hari ini akan ada rekreasi dari kantor dan diwajibkan membawa keluarga. Karena ia merasa tidak enak dengan kejadian semalam, iapun menuruti keinginan Robi tersebut.

Diperjalanan mereka terdiam, namun seketika Celia menyadari sesuatu.

“Kita mau ke kantor kan? Kenapa lewat sini?” tanya Celia saat menyadari itu adalah jalan menuju rumah Yogi. Robi terdiam dan terus menyetir mobilnya. “Bi..” lanjutnya sembari menatap ke arahnya. Robipun menatap isrtinya dan menarik nafas panjang. Celia semakin panik ketika mereka sampai tepat di depan rumah Yogi.

“Aku minta kamu ikut aku ke dalem..” singkatnya yang kemudian terlebih dahulu keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah Yogi.

Yogipun membukakan pintu setelah ia mendengar suara bell. Celia yang masih berada di dalam mobil berusaha menguatkan dirinya. Ia lalu keluar dan menghampiri dua lelaki itu. Yogi mengajak kedua tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Dan tanpa berlama-lama, Robi menjelaskan semuanya.

“Gue ke dalem dulu, ya..” ucap Yogi yang akan beranjak meninggalkan Celia berduaan bersama suaminya.

“Loe tetep disitu, Gi..” jawab Robi menahan Yogi. “Cel, sebelumnya aku minta maaf, kemarin aku ikutin kemana kamu pergi. Dan tujuan kamu, ternyata ke rumah ini..”

“Bi, aku..”

“Cel, biar Robi ngomong dulu ya..” saran Yogi menghentikan Celia yang juga ingin memberikan penjelasan.

“Aku berusaha tenang untuk mendengar penjelasan dia, dari awal sampai akhirnya seperti ini..” lanjutnya. Celia menundukkan kepalanya, bagaimanapun Celia merasa tidak enak pada lelaki ini. “Aku rasa wajar selama ini kamu ngga pernah bisa terima aku, selama ini kamu ngga pernah memperlakukan aku sebagai suami kamu..”

“Aku minta maaf, Rob..” lirih Celia sembari menghapus air matanya. Yogi ingin sekali berpindah duduk disebelah Celia, ia ingin menghapus airmata itu. Namun ia masih menghargai adanya Robi yang ia rasa memiliki niat yang baik.

“Aku bingung siapa yang salah. Apa pantas aku menyalahi orangtua kita? Atau aku sendiri yang tidak tahu diri?!” lanjutnya. “Aku pikir, masalah ini harus segera diketahui oleh keluarga kita. Kita ngga bisa kayak gini terus..” sambungnya lagi.

“Tapi Bi..”

“Walaupun kita menikah karena dijodohkan, aku pikir dengan berjalannya waktu kamu akan bisa menerima aku. Karena itu yang aku rasakan, aku bisa belajar mencintai kamu, Cel. Tapi ternyata, dia lebih berperan dibandingkan aku..” ucapnya memotong pembicaraan Celia. “Aku tahu kamu pasti bingung untuk ngomong sama aku dan juga keluarga kita” lanjutnya lagi. “Tapi ini harus diakhiri..” sambungnya lirih. Celia menatap Robi seakan ia iba padanya, kemudia ia menatap Yogi. “Aku ngga bisa hidup berumah tangga dengan orang yang tidak mencintai aku..” Robi terdiam.

(Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan … Semakin kumenyayangimu, semakin ku harus melepasmu dari hidupku. Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini, kita tak mungkin terus bersama. Maafkan aku yang membiarkanmu masuk ke dalam hidupku ini. Maafkan aku yang harus melepasmu walau ku tak ingin : Melepasmu by Drive)

“Kamu maunya gimana sekarang?” tanyanya pada Celia yang masih terus menangis. “Aku tahu kamu nangis karena kamu bingung kan? Dan aku ingin menghapus air mata itu, tapi aku tahu kamu ngga akan kasih aku ijin untuk menghapusnya..” lanjutnya. “Gi, biar masalah ini gue yang beresin, biar gue yang tanggungjawab sama keluarga gue dan keluarga Celia!” sambungnya, ia menghapus keringat di dahinya dan terdiam.

“Bi, gue juga sanggup untuk ngomong sama keluarganya..” ucap Yogi tegas. “Kalo keluarga kalian ngga bisa terima bayi yang ada di kandungan Celia, setelah lahir nanti biar gue sendiri yang ngurus..” sambungnya. Celia kembali menatap Yogi, ia semakin bingung dalam kondisi ini.

(Aku pasti memilih siapa yang aku cinta, dia atau dirimu. Walau pasti akan ada yang terluka, tersakiti.Tapi harus kulakukan demi semua rasa cinta yang telah terbagi antara kita. Maafkanlah, aku pasti memilih : AKu Pasti Memilih by Kerispatih).

“Gue ngga bisa diem aja, setelah gue tahu cinta kalian yang begitu besar. Kalo aja kalian ngomong dari awal, mungkin gue ngga bakal ambil dia dari loe, Gi!!!” ucapnya pada Yogi yang kali ini ia tunjukkan pula emosinya. Ia beranjak dari kursinya. “Cel, maafin aku.. Aku ngalah dan aku akan pergi sekarang..” lirihnya.

Celiapun menghampiri Robi. “Bi..” lirihnya.

“Gi, loe jaga dia baik-baik ya..” pesannya pada Yogi. Yogipun mendekati Robi dan Celia. Diambilnya tangan Celia dan Yogi untuk dipersatukan, ia tersenyum “Sebelum terlambat lagi, aku ikhlas..” lanjutnya. Celia kemudian memeluk Robi sebagai tanda terimakasih atas pengertiannya, ini pelukan pertama yang didapatkan Robi dari wanita yang masih istrinya ini. “Kamu terlalu baik buat aku, Bi.. Maafin aku..” ucapnya dan Robi hanya tersenyum ikhlas, iapun pergi dari hadapan Celia dan Yogi.

(Tak mampu aku menahan sakit hatiku, niatmu kau madu. Beribu cara telah ku coba, tapi apa daya ku tak kuasa, kau menginginkannya. Tak bisa jari-jariku terima dua cincin dari hatimu dari cintamu. Dan tak bisa perasaanku berbagi kasih dengan dirinya, dari cintamu : Dua Cincin by Hello).

***

KETIKA CINTA BICARA

PUTRI HANDAYANI 26 May 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar