Senin, 10 Mei 2010

Yang Terlewatkan (cerpen)


Meskipun hujan masih terus turun dengan deras, Decha tetap berniat menepati janjinya. Cewek hitam manis ini bergegas dengan Vios hitamnya menuju bandara Halim. Kabar terakhir, pukul 16.50 WIB, seseorang yang ditunggunya sudah akan tiba. Lima belas menit Decha menunggu dalam mobilnya, sembari berharap hujan segera reda. Namun ternyata hujan tak juga reda, ia lalu mengambil payung yang tersedia di dalam mobilnya, dan segera menuju kursi tunggu.

Jam di handphonenya sudah menunjukkan pukul 16.55 WIB, namun belum tampak juga seseorang itu. Dengan rasa cemas, Decha menatap satu persatu orang yang keluar dari tempat kedatangan penumpang.

“Belum ada juga, Gas! Ini gue juga bingung banget, kok dia ngga muncul muncul sih? Mana gue sendirian lagi, coba aja loe tadi ngikut!” ucap Decha memberi kabar pada Bagas lewat telepon genggamnya.

Decha masih menunggu, kali ini ia berusaha menenangkan dirinya. Berulang-ulang Decha melirik jam dihandphonenya, dan sesekali melihat ke arah tempat semula.

“Ya ampun Bagas, ini telepon loe yang ke tujuh tau ngga?! Gue belum ketemu dia! Loe jangan bikin gue tambah khawatir deh, nanti kalo gue udah ketemu pasti gue kabarin loe, kok..” ujar Decha pada Bagas yang lagi-lagi meneleponnya.

“Apa ada masalah ya sama dia? Masak sih dari begitu banyak orang gini, gue belum juga nemuin dia” gerutunya dalam hati. Mudah-mudahan aja ngga ada apa-apa sama dia” harapnya masih dalam hati.

Tak lama kemudian, seseorang menghampiri Decha. Decha yang sedang duduk berpangku tangan, melihat sosok itu perlahan-lahan mulai dari bagian bawah hingga bagian atas. Sepatu keds, blue jeans, dua kopor hitam, satu kopor merah, kaos tanpa lengan, itulah urutan benda yang ia lihat, yang dikenakan sosok yang menghampirinya itu.

“Yulia???” Decha segera berdiri dari duduknya. Dengan sedikit berlebihan, ia lalu memeluk Yulia, sahabat semasa SMAnya. “Apa kabar loe?” lanjutnya sembari mencium pipi cewek berkulit kuning langsat itu.

Yuliapun membalas pelukan Decha “Gue baik-baik aja, loe gimana? Kangen banget gue sama loe..” sambung Yulia.

Sambil terus memeluk sahabatnya, Decha baru tersadar sekelilingnya tengah memandang mereka berdua. “Kayaknya orang-orang ngeliatin kita nih, Yul..” ujar Decha yang segera melepas pelukannya.

“No no, jangan sampe mereka menyalahartikan kita ya..” jawab Yulia, yang disertai tawa keduanya. Decha lalu membantu menggiring satu kopor bawaan Yulia menuju mobilnya, dan segera menggas mobilnya meninggalkan bandara.

“Kita ngafe dulu ya, loe ngga langsung ada acara kan?” tanya Decha diiringi gelengan kepala Yulia. “By the way, kok loe bisa lama banget sih keluarnya? Gue udah panik banget tau ngga, gue pikir ada masalah apa gitu sama kedatangan loe..” lanjutnya sembari terus melajukan mobilnya.

“Ngga kok, ngga ada problem apapun tadi. Ya udahlah, toh sekarang ini gue udah ada di sini kan? jawab Yulia sembari melihat-lihat CD koleksi Decha.

“Nih pasti si Bagas lagi deh!” gerutu Decha ketika handphonenya berdering. Ia lalu mengambil handphone yang masih di saku celananya. “Ia, Gas, gue udah ketemu Yulia kok, sekarang gue mau mampir ke café dulu nih” ujar Yulia sedikit terburu-buru.

“Sayang, ini bunda..” ucap suara diseberang sana.

“Bunda? Decha pikir Bagas, soalnya tadi di bandara dia teleponin Decha melulu. Maaf ya, Bunda” jelas Decha. “Oia, Bun, Decha udah ketemu Yulia, tapi Decha ngga langsung pulang ya, Bun. Soalnya mau ngobrol banyak dulu sama dia” lanjutnya.

“Ya udah, hati-hati ya. Salam buat Yulia, jangan lupa Yulia mampir ke sini” jawab Bunda yang lalu menutup teleponnya.

“Gue pikir si Bagas, gue sampe lupa ngabarin dia. Gue telepon dia dulu ya” ucap Decha. “Eh, tapi gimana kalo loe yang telepon dia? Kan surprise tuh buat dia, sekalian ajak ngafe juga” sarannya.

“Ia, gue juga sampe ngga nanyain dia, bisa kelupaan gini. Tapi kenapa dia ngga ikut jemput gue?” tanya Yulia.

“Ya gue juga pengennya dia nemenin gue, tapi loe tanya aja sama orangnya kenapa ngga bisa ikut” lanjut Decha sembari mencari tempat parkir di café langganannya.

Setelah memesan beberapa makanan camilan dan minuman, tak lama kemudian Bagas datang menghampiri, dan segera memeluk Yulia. “Kangen gue sama loe, loe baik-baik aja?” tanya Bagas yang kemudian duduk di kursi sebelah Yulia.

“Fine, gue baik kok, Gas. Gimana kerjaan loe? Gaya yah, sekarang jadi Pa’ Polisi..” sindir Yulia.

Satu jam berlalu begitu cepat, setelah cukup puas kangen-kangenan, Bagaspun harus kembali bertugas menuju kantornya. Dan karena keluarga Yulia juga menunggu kedatangannya, Decha melajukan mobilnya menuju rumah Yulia.

***

Keesokan harinya, Yulia menjemput sahabatnya untuk memintanya mengantar keliling Bandung, ia begitu rindu akan segala tentang Bandung.

“Oia Dech, hampir aja gue lupa. Ada salam tuh buat loe..” kata Yulia sambil terus menggas mobilnya.

“Salam? Hari gini masih jaman salam-salaman lewat orang lain?” ucapnya sambil melihat ke arah Yulia. Yulia hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum atas pertanyaan sahabatnya itu. “Masa sih, emang dari siapa?” lanjutnya.

“DONI” jawab Yulia singkat.

“Doni?” tanyanya dalam hati. Mendengar nama itu, semua rasa tercampur di hati Decha. Seneng, kaget, GR, tapi sakit hati juga. Cuma karena satu nama cowok itu! “Tapi ntar dulu, Doni yang mana dulu nih?” tanyanya lagi dalam hati. Lamunannya buyar setelah Yulia memutar CD Rihana dalam mobilnya.

“Kok diem? Why?” tanya Yulia sambil sedikit menggoyangkan badannya mengikuti irama lagu yang di dengarnya.

“Ehm.. Maksud loe Doni yang mana sih, Yul?” tanya Decha sekali lagi, membunuh penasarannya.

“Yang mana lagi sih? Loe ngga pura-pura stupid kan? Temen satu angkatan kita, yang mana lagi sih yang namanya Doni?” jawab Yulia dengan harap Decha tahu Doni yang dimaksud.

“Hmm.. ia juga ya. Mana ada lagi yang namanya Doni, yang satu angkatan sama gue?” pikirnya dalam hati.

“Loe kok jadi diem gitu sih?” selidik Yulia.

“Ngga kok, gue ngga apa-apa, Yul..” jawabnya beralasan. “Doni.. Doni.. kemana aja sih loe? Lama juga ngga denger kabar loe..” ucapnya masih dalam hati lagi. Beberapa menit Decha terdiam, bukan menikmati alunan lagu yang sedang diputar di dalam mobil ini, tetapi terus teringat bayang-bayang Doni. “Kapan dan dimana ya Yulia ketemu sama Doni?” pikirnya sembari menatap ke arah sosok sahabatnya ini. Ia ingin menanyakannya pada Yulia, namun tampak Yulia sedang mengotak-atik telepon genggamnya.

“Dech, tolong kecilin dulu tuh volume tapenya” pinta Yulia. “Huh finally” lanjutnya lagi. “Lagi dimana sih loe, gue hubungin susah banget?” tanya Yulia sedikit ngambek pada orang yang sedang di teleponnya itu. “Engga.. gue mau kasih surprise aja sama loe” sambung Yulia lagi. “Bentar ya, loe langsung ngomong sama orangnya aja nih..” Tanpa basa-basi, Yulia memberikan ponselnya pada Decha.

“Siapa?” tanya Decha sambil melihat layar telepon genggam Yulia, barangkali ia juga tahu nomer yang dihubungi Yulia ini.

“Udaah, loe ajak dia ngobrol aja..” pinta Yulia berbisik, membingungkan Decha. Decha yang masih bengong, malah semakin bingung karena kelakuan anehnya Yulia.

“Ha .. halo?” katanya sedikit terbata-bata. “Aduuh, Yul siapa sih? Gue mesti ngajak ngobrol apaan?” tanya Decha sedikit berbisik, ngga peduli orang itu mendengar ke-begoannya.

“Ini gue Doni!!” ucap suara di seberang sana sedikit berteriak. Suara yang membuat Decha semakin jantungan. “Halo.. halo.. halo..” suara itu terdengar lagi.

“Eh.. sorry sorry. Hai.. Hai apa kabar loe?” tanya Decha basa-basi. Merekapun bertukar nomor telepon dan membuat janji untuk bertemu.

“Ciee.. CLBK dong..” goda Yulia sembari senyam-senyum puas setelah Decha mengakhiri perbincangannya dengan Doni.

“Apaan sih, biasa ajalah!” gerutu Decha.

“Hmmm.. ngambek. Tapi seneng kan loe?” tanpa hentinya Yulia terus menggoda Decha.

“Seneng gimana? Emangnya jaman SMA dulu, ngeliat Doni dari jauh aja senengnya minta ampun..” jawab Decha dalam hati. “Loe tu ya, ngga berubah emang dari dulu, jangan-jangan di New York malah dalemin ilmu comblang-comblangin orang ya?” lanjutnya, balik menggoda Yulia.

“Bisa aja loe. BTW, loe seneng ngga?” tanya Yulia masih penasaran.

“Seneng? Seneng ketemu loe? Ya seneng lah, seneng banget malah!” jawab Decha sembari mengambil telepon genggam dalam tasnya, ia segera memasukkan nomor Doni ke dalam kontak dengan nama “Yang Terlewatkan”.

“Hmm bukan itu, maksud gue apa loe seneng bisa tau kabar Doni lagi? Bisa ngobrol sama Doni, first time kan loe bisa ngobrol sama dia walaupun lewat telepon?” lanjut Yulia yang begitu antusias menyatukan Decha dan Doni.

“Yul, gue udah ngga ngarepin dia lagi semenjak kita lulus SMA. Jadi, kalo sekarang loe tanya perasaan gue, gue biasa aja!” jelas Decha meyakinkan Yulia. “Doni itu masa lalu gue!” lanjutnya lagi.

“Loe tuh ngga usah bohongin diri loe gitu. Waktu gue masih di New York, loe sering banget curhat tentang Doni lewat email loe ke gue. Maksudnya apa coba selain loe masih harepin dia sampai detik ini? Loe tuh..”

“Apaan sih! Ngga lah, Yul..” potong Decha. “Males gue ngelanjutin perasaan gue, gue ngga mau ngejar-ngejar dia lagi. Cukup kebodohan gue semasa SMA aja!!” lanjutnya lagi.

“Hmm, ni orang emang ngga berubah ya. Gimanapun, dia tetep sahabat gue” ucap Yulia dalam hati. “Ya udah, sorry, gue ngga maksud bikin loe ngambek..” lanjutnya.

“Udah ya, ngga usah ngomongin dia lagi, please..” pinta Decha.

Belanja, makan siang, nonton di XXI Ciwalk, foto studio, cukup memuaskan untuk hari ini. Yulia kembali menggas mobilnya, hendak mengantar sahabatnya kembali ke rumah. Setelah makan malam di rumah Decha, Yuliapun berpamitan pada orangtua Decha.

“Loe tidur sini aja dong, kamar gue juga kangen sama loe, udah lama banget kita ngga ada acara nginep-nginepan kan?” pinta Decha saat mengantar Yulia ke depan gerbang rumahnya.

“Lain kali ya, loenya juga masih ngambek kan gara-gara omongan gue tadi?” ucap Yulia sedikit menyesal.

“Ya enggalah, loe kayak baru sekali ini aja nasehatin gue..” jelas Decha berharap sahabatnya tidak salah sangka. “Sorry, gue ngga maksud marah sama loe, gue cuma bingung sama perasaan gue aja..” lirih Decha.

“Sebenernya, kemarin sebelum gue ketemu loe di bandara, gue ketemu sama Doni..” jelasnya. “Yang dia tanya pertama kali, bukan kabar gue, tapi nanyain loe..” lanjutnya. “Akhirnya gue ngobrol sebentar sama dia. Ya, walaupun ngga banyak cerita tentang loe, tapi gue NGERTI banget kenapa dia KAYAK GINI sama loe..” sambungnya lagi.

“Maksudnya, kayak gini gimana?” Dechapun penasaran.

“Yah.. loe tunggu aja, biar dia yang jelasin semuanya. Toh, loe juga besok janjian ketemuan kan sama dia? Pesen gue, loe ngga boleh bohongin perasaan loe. Gue balik dulu ya..” Yulia memeluk sahabatnya ini dan segera menuju mobilnya. “Jangan lupa, besok ceritain ke gue ya pertemuan pertama kalian..” ucapnya dari balik kaca mobilnya.

Decha berjalan menuju kamarnya, cuek dengan sapaan abangnya yang sedang nongkrong depan tivi. Hanya bayangan Doni yang melekat dan perasaan tidak menentu yang hinggap. “Yulia NGERTI banget kenapa Doni KAYAK GINI sama gue, maksudnya apaan sih? Yulia emang sok tahu, atau apa sih yang diceritain Doni ke Yulia?” semakin penasaran, semakin bertanya-tanya, dan semakin ingin mendapat jawabannya. “Kok gue kepikiran Doni ya? Jangan sampe perasaan itu muncul lagi!” lanjutnya sembari menutup tubuhnya dengan selimut.

***


 
Tepat jam setengah tujuh malam, Doni dengan motor gedenya sudah tiba di depan rumah Decha. Sebenarnya, Decha masih bingung kenapa ia mau menerima ajakan makan malamnya Doni. Padahal semenjak lulus SMA, orang yang paling ia benci dan tidak berharap bertemu lagi adalah Doni. Setelah pamitan pada bundanya, Decha segera berlari ke arah teras depan, ingin segera melihat Doni yang dimaksud.

“Ini bener-bener kenyataan, dia beneran Doni yang dulu gue harapin banget!” ucapnya dalam hati ketika pertama kali melihat Doni di depan mata. “Ini mimpi gue sewaktu SMA, kenapa baru jadi kenyataan sekarang??” lanjutnya lagi.

Sepanjang perjalanan, yang menjadi bahan obrolan hanya seputar masa-masa SMA. Membicarakan teman-teman Decha, teman-teman se-genknya Doni, membahas guru-guru killer, membahas sekolah yang sekarang sudah direnovasi abis-abisan, sampai membahas rencana reunian SMA angkatannya. Perjalanan bisa terhitung menit, kira-kira setengah jam mereka sudah sampai di tempat tujuan.


 

Sembari menunggu pesanan datang ke meja mereka, mereka juga banyak berceritera. Sesekali Decha memandang lelaki impiannya ini tanpa sepengetahuan Doni. Ia seakan masih tidak percaya Doni ada di hadapannya.

“Loe udah ada cowok?” tiba-tiba terlontar pertanyaan itu dari bibir Doni.

“Hagh?” tanya Decha terkejut. “Ya ampun.. Jangan sampe dia tau kalo gue lagi mandangin dia tadi..” ucapnya dalam hati.

“Ditanya gitu aja kaget..” ucapnya sembari balik memandang Decha.

“Ngga usah bahas itu deh..” jawab Decha sambil menundukan wajahnya ketika sadar Doni sedang melihat ke arahnya.

“Kenapa, gue ngga boleh tau?” tanyanya singkat. “Kalo loe udah ada yang punya, berarti gue ngga boleh sering-sering ngajak loe jalan. Terus, kalo loe belum ada yang punya, berarti gue bisa terus ngajak loe jalan. Maksud gue gitu, Decha..” lanjutnya lagi.

“Hah?? Doni nyebut nama gue?!” ucapnya dalam hati. “Loe tau nama gue, kirain ngga kenal gue??” lanjutnya sedikit sinis sembari meneguk minuman yang baru diantar waitreesnya.

“Secara dulu kita satu sekolah, pernah satu kelas juga. Walaupun ngga pernah ngobrol, tapi bukan berarti gue ngga kenal loe, bukan berarti ngga tau loe, dan bukan berarti gue ngga merhatiin loe..” jelas Doni panjang lebar, sembari masih menatap ke arah Decha.

“Ucapannya bikin gue GR nih. Gila kali dia, ngomong kok ngga pake basa-basi sih!?” pikir Decha dalam hati.

“Hmm.. oke deh kalo loe ngerasa ngga kenal gue, kita kenalan dulu aja gimana?” ucapnya sedikit bercanda sembari mengulurkan tangannya berharap Decha merespon uluran tangannya itu. “Gue Doni, temen SATU KELAS loe di SMA dulu..” lanjutnya.

“Loe bisa aja deh..” lanjut Decha merespon uluran tangan Doni dan secepat mungkin melepas jabatan tangan itu.

“Bisa juga loe ketawa..” sindirnya. “Ya udah, sekarang itu makanan jangan diliatin aja. Makan dulu yuk, keburu dingin, nanti ngga enak lagi..” ajak Doni sambil membuka sendok yang dibungkus tissue dan kemudian melahap makanan yang dipesannya dua puluh lima menit yang lalu itu.

“Doniii ..” lirihnya dalam hati sembari memandang Doni.

“Diajak makan, malah mandangin gue. Ngeliatnya gitu banget lagi. Kayak ada yang mau loe omongin” katanya sok tau.

“Sok tau ah, udah dilanjut aja makannya..” kata Decha beralasan dan segera memulai makan makanan yang dipesannya tadi.

“Hmm malu sendiri kan? Kalo bukan mau ngomong sesuatu, ngapain juga ngeliatin gue?” tanya Doni lagi sambil senyam-senyum sendiri.

“GR banget sih loe. Gue cuma mau ngomong kalo gue NGGA MAU JATUH CINTA LAGI SAMA LOE!” lanjutnya dalam hati.

“Udah kenyang?” tanya Doni sebelum memanggil waitrees untuk meminta billnya.

Decha menganggukkan kepalanya kemudian berterimakasih atas dinnernya malam ini. “Thanks ya..” singkatnya.

“Thanks juga loe udah mau gue ajak dinner. Jangan kapok ya..” ucapnya sembari memberikan senyum terbaiknya.

Dan Dechapun membalas ucapan Doni itu juga dengan senyuman yang menurutnya adalah senyum terbaiknya. Merekapun segera menuju tempat parkir. “Tunggu bentar ya..” ucap Decha sembari mengambil sarung tangan dalam tasnya.

“Wah loe tau aja deh gue kedinginan gini..” tanpa basa-basi Doni mengambil barang itu dari tangan Decha dan segera memakainya.

“Siapa juga yang siapin sarung tangan ini buat dia? Gue sengaja bawa, karena yakin bakal dingin banget udara malem ini..” kata Decha dalam hati. “Kok gitu sih, terus gue gimana?” tanyanya.

“Tangan loe masuk aja ni ke jaket gue” katanya santai sembari menunjukkan saku di jaketnya.

Perjalanan pulang sangat mereka nikmati. Sembari Doni terus menggas motornya, dengan tangan kirinya ia mengambil tangan Decha yang bersembunyi menahan dinginnya malam di belakang punggungnya, lalu menarik tangan itu untuk masuk ke dalam saku jaket yang dipakainya.

“Dingin ya?” singkatnya. “Thanks banget ya udah mau keluar bareng..” lanjutnya lagi. Karena Decha tidak juga menjawab pertanyaannya, Doni sedikit menoleh ke belakang, ke arah Decha. “Minggu depan, kita keluar lagi ya?” tanyanya berharap kali ini Decha mau menjawab pertanyaannya.

“Wadduuh, mau ngga ya?” tanyanya dalam hati. “Kalo nerima ajakan dia, takutnya nanti gue jatuh cinta lagi sama cowok ini. Tapi kalo gue nolak ajakan dia, takutnya dia kecewa, terus ngga bakal hubungin gue lagi. Duuuh egois banget sih gue ini!” lanjutnya sambil terus berpikir ia atau tidak sama sekali.

“Keberatan ya, Dech..” tanya Doni masih penasaran.

Lagi-lagi, Decha hanya berkata dalam hati “Don.. gue sebenernya sama sekali ngga keberatan. Tapi kalo aja loe tau yang sebenernya gue rasain, yang gue takutin, loe pasti ngerti, Don..”

“Ya udah ngga apa-apa kok kalo loe ngga mau...” ucap Doni seperti berhenti berharap.

“Emmmh.. Emangnya loe mau ngajak gue pergi kemana?” tanya Decha berharap Doni tidak kecewa karena sikap diamnya tadi.

“Ke tempat yang sejuk, cuci mata lah ceritanya..” jawabnya singkat.

“Yang sejuk? Di Bandung mana lagi sih tempat sejuk? Lembang? Dago? Ahh bosen!! Tapi ngga apa-apa lah kalo sama Doni!” ucapnya dalam hati lagi sembari tersenyum kecil.

“Penasaran ngga? Mau ya?” tanya Doni sembari menengok lagi ke belakang, ke arah Decha. “Minggu depan gue jemput loe lagi ya??” ucapnya lagi.

“Biar kita keep contact, mendingan nanti aja deh gue kabarinnya lewat telepon..” lanjut Decha dalam hati. “Nanti kita calling-callingan lagi aja ya” jawab Decha singkat.

“Sekali lagi, thanks ya. Sorry loe sampe rumahnya kemaleman..” kata Doni saat sampai tepat di depan rumah Decha.

Lagi-lagi Decha menganggukkan kepalanya, special plus senyuman dari bibir kecilnya Decha. “Nah loe, biar loe ngga bisa tidur mikirin seyuman gue semaleman, hahaha... GR amat si gue ini!” ucapnya dalam hati sembari memberikan lambaian tangan ketika Doni beranjak pergi dari hadapannya.

***


Satu minggu kemudian..

Tepat jam sebelas pagi, Doni sudah tiba di teras rumah Decha. Sedangkan cewek yang ditunggunya ini masih di kamarnya, masih bingung memilih baju yang akan dikenakannya. “Akhh, kayak jaman SMA aja sih pake bingung segala milih-milih baju!” pikirnya. “Gue bukan mau ngedate kok!” sambungnya sembari memakai pakaian simple pilihannya, kemudian menuju teras untuk menemui Doni.

“Hai.. Sorry banget, lama nunggu ya? Engga kan?” ucap Decha sembari senyam senyum kegirangan.

“Loe ceria banget hari ini? Seneng banget gue liatnya, semangat juga gue ngajak jalannya...” puji Doni pagi ini.

“Masa sih, pengaruh warna baju gue aja kali” jawab Decha sedikit tersipu. “Kita berangkat sekarang, atau loe mau gue buatin minum dulu?” tanya Decha yang sebenarnya basa-basi.

“Ngga usah, nanti aja dijalan..” jawabnya yang kemudian menaikki motornya. “Ada yang ketinggalan, jaket, sarung tangan?” tanya Doni sebelum menggas motornya.

Decha hanya menggelengkan kepala yang berarti meyakinkan Doni bahwa semuanya sudah siap.

“Hari ini bakal nyenengin kayak minggu kemarin ngga ya? Gue harep gitu sih..” harap Decha. “Tapi kok gue ngga diajak ngobrol gini sih? Nanya apaan ya? Nanya kerjaan aja kali ya..” tanyanya dalam hati, ia ingin membuka perbincangan. “Loe tuh sekarang kerja dimana? Hari kerja kok ngga masuk sih?” tanya Decha di seperempat perjalanan sembari menempelkan dagunya ke bahu Doni.

“Libur special aja..” jawabnya singkat.

“Hmm jangan-jangan ngeliburin diri nih.. Ya kan?” Decha mulai memberanikan diri menggoda Doni.

“Kalo ia kenapa? Ngeliburin diri buat loe kok..” singkatnya lagi.

“Hmmm bisa aja, lagi-lagi bikin GR gue. Nanya apa lagi ya?” ucapnya masih dalam hati. “Sebenernya kita mau kemana sih?” tanya Decha penasaran, karena perjalanannya tidak menuju Lembang ataupun Dago seperti yang dibayangkannya.

“Puncak..” lagi-lagi jawab Doni singkat. Jawaban itu ia lontarkan bersamaan dengan diambilnya lagi tangan Decha dan menariknya untuk dimasukkan ke dalam saku jaketnya, seperti yang ia lakukan di perjalanan sepulang dinner satu minggu yang lalu.

Decha kemudian terdiam sesaat, dan bertanya lagi menghilangkan nervousnya, “Puncak apa, yang dimana maksud kamu? Eh maksud gue tu, ya maksud loe puncak yang dimana?” tanyanya sedikit ribet.

“Ya puncak lah, masa loe ngga tau? Di sana ada satu tempat yang pasti loe bakal suka dan ketagihan terus pengen kesana lagi..” jelas Doni sembari tangan kirinya ikut masuk ke dalam saku jaketnya, pelan-pelan ia juga mulai mengelus tangan Decha. “Liat aja nanti ya..” lanjutnya lagi.

Perjalanan memang panjang, tapi tidak terasa akhirnya mereka sudah sampai di tempat yang dimaksud Doni. Benar saja, tempatnya asik, sejuk dan terlihat pemandangan yang indah.

“Gimana? Loe setuju kan tempat ini keren banget?” ucap Doni sembari melepaskan jaketnya. “Buat gue, ini bukit terindah yang pernah gue kunjungin” lanjutnya lagi.

Decha sedari tadi masih terpesona melihat pemandangan di depan matanya, ia sangat menikmati pemandangan dari atas bukit ini. Mereka duduk bersebelahan di atas rerumputan dan terdiam sejenak.

“Dech..” ucap Doni ragu untuk membicarakannya sekarang.

“Kenapa?” Decha terdiam lagi, mengalihkan pandangannya pada pemandangan lainnya.

“Dech, gue..” Doni masih juga ragu. “Loe tau ngga, ini tu namanya Bukit Kupu..” ucapnya mengalihkan pembicaraan.

“Serius? Di Bandung bisa liat bintang di Bukit Bintang, kalau di sini bisa liat kupu-kupu dong?” tanya Decha sok tahu.

“Emang iya.. Setiap jam empat sore, gerombolan kupu-kupu yang entah darimana datengnya, ke bukit ini untuk ngisep madu-madu yang ada di bunga-bunga sebelah situ.” jelas Doni sambil menunjuk tempat bunga-bungaan yang tidak jauh dari tempat mereka saat ini. “Percaya ngga?” tanya Doni meyakinkan.

“Kalau gitu, kita disini sampe jam empat sore ya..” pinta Decha.

“Jangankan sampe sore, sampe besok aja gue mau kok, bahkan bertahun-tahunpun gue mau nemenin loe..” ucap Doni membuat pipi Decha berubah warna.

“Bisa aja loe!” singkatnya sembari tersipu malu.

“Kalo loe senyum gitu, ngga nahan deh gue..” goda Doni menghangatkan suasana.

“Hmmm, gue tau nih. Kalo gue senyum kayak gini, loe ngga bisa tidur semaleman ya kayak seminggu yang lalu? Senyumnya sapa dulu..” ucap Decha narsis.

“Dech, boleh gue ngomong sesuatu?” Doni mulai memberanikan dirinya setelah cukup lama mereka saling terdiam.

Decha melihat ke arah Doni, sesaat mereka saling menatap. “Serius amat loe kayaknya” ucap Decha membuyarkan tatapan mereka.

“Gue ngajak loe kesini, bukan cuma sekedar ngajak jalan. Tapi..” Doni terdiam sejenak meyakinkan dirinya harus mengatakannya saat ini juga. “Gue emang mau ngomong sesuatu sama loe..” Doni berpindah duduk tepat di hadapan Decha. “Loe udah ada yang punya apa belum sih?” tanyanya gugup.

“Itu lagi?” singkat Decha sedikit sinis.

“Dech..” Doni memegang kedua tangan Decha. “Gue butuh jawaban loe itu!” lanjutnya.

“Tapi untuk apa?” tanya Decha sambil melepas sentuhan tangan Doni.

“Gue sayang loe!!” jawab Doni singkat.

“Apa?! Jadi ini jawabannya. Doni beneran punya perasaan juga ke gue?” ucap Decha dalam hatinya sambil terus menatap Doni.

Doni mencoba mengambil kembali kedua tangan Decha.

“Sejak kapan?” tanya Decha pelan, jantungnya berdebar kencang.

“Gue ngga peduli sejak kapan gue punya perasaan ini. Sejak kemarin, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, atau bahkan lima tahun yang lalu, loe ngga perlu tau. Yang penting saat ini loe tau perasaan gue kayak gimana.” jelas Doni.

“Terlambat!!!” singkat Decha yang kemudian berdiri dari duduknya, berjalan menuju tempat beribu bunga yang tidak jauh dari tempatnya semula. Doni yang masih duduk terdiam, hanya menatap ke arah Decha. “Kemana aja loe dari dulu, hah?” teriak Decha dari tempat itu. “Kenapa baru sekarang loe dateng ke gue?” lanjutnya sembari menghapus air mata yang sedikit demi sedikit menetes di pipinya. “Kenapa??” lanjutnya lagi.

(Kemana kau selama ini bidadari yang ku nanti? Kenapa baru sekarang kita dipertemukan? Sesal tak akan ada arti, karena semua telah terjadi. Kini kau telah menjalani sisa hidup dengannya. Mungkin salahku melewatkanmu, tak mencarimu sepenuh hati, maafkan aku! Kesalahanku melewatkanmu, hingga kau kini dengan yang lain, maafkan aku! Jika berulang kembali, kau tak akan terlewati, segenap hati kucari di mana kau berada : Yang Terlewatkan by Sheila On 7)

Doni berlari menghampiri Decha dan menghapus airmata yang membasahi pipinya. “Kalo gue tau loe bakal sedih gini, gue bakal pendem aja perasaan gue ini selamanya..” lirihnya sembari memegangi bahu Decha. “Gue ngga mentingin perasaan gue, kok. Dari dulu gue cuma mau liat loe seneng. Tapi kalo gini jadinya, maafin gue, Dech..” ucap Doni menyesali kejujurannya.

“Gue ngga masalah loe ngomong jujur kayak gini, karena emang ini yang gue tunggu dari loe sejak dulu..” jawab Decha lirih. ”Yang bikin gue nangis, cuma masalah waktu aja, kenapa semuanya terlambat kayak gini..” lanjutnya pelan.

“Dari dulu gue selalu ngorbanin perasaan gue. Semenjak loe jadian sama sahabat gue, perasaan gue juga mulai muncul bersamaan..” jelasnya. “Gue ngga mungkin ngambil kesempatan sedikitpun untuk deketin loe, demi sahabat gue. Karena sedikit aja gue berani deketin loe, gue TERLALU TAKUT, gue ngga mungkin ngerebut loe!” Doni mengambil lagi kedua tangan Decha. “Tapi yang loe maksud terlambat itu apa?!” tanyanya penasaran. “Bukannya loe sama dia udah pisah cukup lama kan?” lanjutnya lagi.

“Loe liat ini!” ucap Decha sembari menunjukkan cincin di jari manis tangan kirinya.

“Masih di tangan kiri kan?” tanyanya. “Masih ada kesempatan kan untuk gue milikin loe?” lanjutnya berharap. “Gue ngga maksud ngerebut loe dari tunangan loe yang entah siapa. Gue sempet nahan perasaan gue bertahun-tahun dengan ngalah demi sahabat gue. Tapi kali ini gue NGGA MAU NGELEWATIN loe lagi, gue ngga mau jatuh di kesalahan yang sama…” jelasnya kemudian memeluk wanita dihadapannya ini. “Maafin gue terlambat nyari loe..” lanjutnya sembari terus memeluk Decha.

Sekelompok kupu-kupu pun datang menghampiri bunga-bunga disekitar mereka. “Mereka jadi saksi kita…” ucap Doni yang kali ini tersenyum bahagia. Ia yakin kali ini tidak akan kehilangan wanitanya lagi.

(Bersamamu yang ku mau, namun kenyataannya tak sejalan. Tuhan bila masih ku diberi kesempatan, ijinkan aku untuk mencintanya. Namun bila waktuku telah habis dengannya, biar cinta hidup sekali ini saja : Sekali Ini Saja by Glenn Friedly)


PUTRI HANDAYANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar